SISTEMATIKA USULAN PENELITIAN PROPOSAL
I. Judul
Implementasi UU Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Terhadap Kasus Perdagangan Anak (Child Trafficking)
II. Pelaksanaan Penelitian
a. Nama Mahasiswa :
b. NPM :
c. Jumlah SKS : 21
d. IP Kumulatif : 3,40
e. Nilai MPH :
e. Dosen Wali : SH.,MH.
III. Dosen Pembimbing :1., SH.,MH.
:2., SH.M.H.
IV. Ruang Lingkup/Bidang Kajian : Hukum Pidana
V . Latar Belakang Masalah
Anak-anak merupakan generasi bangsa yang akan datang, kehidupan anak-anak merupakan cermin kehidupan bangsa dan negara. Kehidupan aak-anak yang diwarnai dengan keceriaan merupakan cermin suatu negara yang memberikan jaminan kepada anak-anak untuk dapat hidup berkembang sesuai dengan dunia anak-anak itu sendiri. Kehidupan anak-anak yang diwarnai dengan rasa ketakutan, traumatik, sehingga tidak dapat mengembangkan psiko-sosial anak, merupakan cermin suatu negara yang tidak peduli pada anak-anak sebagai generasi bangsa yang akan datang. Disisi lain masa anak-anak merupakan masa yang sangat menentukan untuk terbentuknya kepribadian seseorang .
Akhir-akhir ini, banyak masalah diperdebatkan baik ditingkat regional maupun global dan dikatakan sebagai bentuk perbudakanmasa kini serta melanggar HAM. Salah satu masalah tersebut adalah masalah perdagangan anak (Child Trafficking). Perdagangan anak merupakan suatu kejahatan terorganisasi yang melampaui batas-batas negara, sehingga dikenal sebagai kejahatan transnasional. Indonesia tercatat dan dinyatakan sebagai salah satu negara sumber dan transit perdagangan anak internasional, khususnya untuk tujuan seks komersial dan buruh anak di dunia.
Perdagangan anak bukanlah hal baru, namun baru beberapa tahun belakangan masalah ini muncul kepermukaan dan menjadi perhatian tidak saja pemerintah Indonesia, namun juga menjadi masalah transnasional. Berbagai latar belakang dapat dikaitkan dengan meningkatnya masalah perdagangan anak seperti; lemahnya penegakan hukum, peraturan perundang-undangan yang ada, peran pemerintah dalam penanganan maupun minimnya informasi tentang trafficking .
Sebenarnya sejak tahun 1979 pemerintah telah menetapkan sebuah peraturan untuk meletakkan anak-anak dalam sebuah lembaga proteksi yang cukup aman, yaitu UU No 4 tentang Kesejahteraan Anak. Langkah pemerintah selanjutnya adalah menetapkan UU Pengadilan Anak (UU No 3 Tahun 1997). Terakhir, pemerintah menetapkan pula UU No 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak yang secara tegas pula menggariskan bahwa anak adalah penerus generasi bangsa yang harus dijamin perlindungannya dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak dan telah mengeluarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, secara obyektif yang terjadi di kehidupan anak-anak adalah masih belum teratasinya masalah anak yang terjadi di Indonesia, khususnya lagi kasus child trafficking yang semakin tidak bisa ditolerir dengan akal sehat ( the most intolerable forms).
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menjelaskan child trafficking adalah terdapat pada Pasal 59, Pasal 68 dan yang mengatur tentang sanksi pidananya adalah Pasal 78, Pasal 83 dari hal itu semua pada dasarnya Pemerintah telah memperkuat instrumen hukum tentang child trafficking, seperti KILO 182, CRC, Optional Protocol of CRC on sale of Children, Child Prostitution, and Child Pornography – namun hal tersebut hingga saat ini isu child trafficking masih belum memperoleh intervensi yang signifikan.
Pada dasarnya child trafficking adalah penggunaan anak yang dilibatkan dalam eksploitasi ekonomi maupun seksual dan lain-lain oleh orang dewasa atau pihak ketiga untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk uang maupun bentuk yang lain. Dalam kaitannya dengan anak, elemen “consent” (kerelaan atau persetujuan) tidak diperhitungkan, karena anak tidak memiliki kapasitas legal untuk bias memberikan (atau menerima) informed consent. Setiap anak, karena umumnya harus dianggap tidak mampu memberikan persetujuan secara sadar terhadap berbagai hal yang dianggap membutuhkan kematangan fisk, mental, sosial, dan moral bagi seseorang untuk bias menentukan pilihannya, oleh karenanya anak adalah korban (victim) dan bukan pelaku kejahatan (criminal actor).
VI. Pembatasan Masalah dan perumusan masalah
1. Pembatasan Masalah
Dengan mengingat keterbatasan pemikiran serta waktu yang penulis miliki, maka dalam skripsi ini penulis akan membatasi pada Tinjauan Sosiologis Terhadap Perma No 2 Tahun 2012 Tentang Tindak Pidana Ringan
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah maka penulis dapat merumuskan masalah mengenai :
a. Bagaimana Implementasi UU Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Terhadap Kasus Perdagangan Anak (Child Trafficking) di Kota Pekalongan?
b. Bagaimanakah ketertarikan masayarakat terhadap Implementasi UU Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Terhadap Kasus Perdagangan Anak (Child Trafficking) di Kota Pekalongan ?
VII. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan penelitian ini antara lain yaitu dikemukakan sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui Bagaimana Implementasi UU Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Terhadap Kasus Perdagangan Anak (Child Trafficking) di Kota Pekalongan.
b. Untuk mengetahui ketertarikan masayarakat terhadap Implementasi UU Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Terhadap Kasus Perdagangan Anak (Child Trafficking) di Kota Pekalongan.
2. Kegunaan Penelitian
a. Untuk menghasilkan bahan pustaka yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaranya serta memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai Implementasi UU Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Terhadap Kasus Perdagangan Anak (Child Trafficking) di Kota Pekalongan.
b. Pelaksanaan penelitian hendaknya dapat membantu mengetahui hambatan-hambatan atau permasalahan-permasalahan yang timbul terhadap daya tarik masayarakat Implementasi UU Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Terhadap Kasus Perdagangan Anak (Child Trafficking) di Kota Pekalongan.
.
c. Untuk memenuhi syarat dalam menempuh ujian akhir guna memperoleh gelar sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Pekalongan.
VIII. Tinjauan Pustaka
1. Implementasi UU Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terhadap Kasus Perdagangan Anak (Child Trafficking).
Implementasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar tetap hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 mengkhususkan diri pada perlindungan anak. Kriminalisasi terhadap perdagangan anak termaktub dalam Pasal 83 dan Pasal 88 UU No. 23 Tahun 2002. Jika korbannya bukan anak maka pasal-pasal dalam undang-undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang di dalamnya telah mengatur tentang perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan seksual komersial tetapi masih bersifat eksplisit, dan di sisi lain dalam penerapannya masih belum terlaksana secara maksimal karena kurangnya sosialisasi terhadap seluruh pihak yang bersangkutan, baik aparat negara ataupun masyarakat secara umum. Sehingga perlu diberikan definisi secara implisit mengenai tindak pidana perdagangan anak untuk tujuan seksual komersial dalam kedua undang-undang tersebut dan perlunya disosialisasikan secara menyeluruh kepada seluruh masyarakat di Indonesia agar anak benar-benar memperoleh perlindungan atas hak-haknya.
2. Faktor-faktor yang melatarbelakangi Kasus Perdagangan Anak (Child Trafficking).
1. Kurangnya Kesadaran: Banyak anak dibawah umur yang bermigrasi untuk mencari kerja baik di Indonesia ataupun di luar negeri tidak mengetahui adanya bahaya child trafiking dan tidak mengetahui cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak mereka dalam pekerjaan yang disewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan.
2. Kemiskinan: Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencakanan strategi penopang kehidupan mereka termasuk memperkerjakan anak-anaknya karena jeratan hutang.
3. Keinginan Cepat Kaya: Keinginan untuk memiliki materi dan standar hidup yang lebih tinggi memicu terjadinya migrasi dan membuat keluarga anak yang bermigrasi rentan terhadap child trafiking.
4. Faktor Budaya: Faktor-faktor budaya berikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya child trafiking:
1. Peran Anak dalam Keluarga: Kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga membuat anak-anak rentan terhadap trafiking. Buruh/pekerja anak, anak bermigrasi untuk bekerja, dan buruh anak karena jeratan hutang dianggap sebagai strategi-strategi keuangan keluarga yang dapat diterima untuk dapat menopang kehidupan keuangan keluarga.
2. Perkawinan Dini: Perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan seringkali, juga perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap trafiking disebabkan oleh kerapuhan ekonomi mereka.
3. Sejarah Pekerjaan karena Jeratan Hutang: Praktek menyewakan tenaga anggota keluarga untuk melunasi pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima oleh masyarakat. Anak yang ditempatkan sebagai buruh karena jeratan hutang khususnya, rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi yang mirip dengan perbudakan.
# Kurangnya Pencatatan Kelahiran: Orang tanpa pengenal yang memadai lebih mudah menjadi mangsa trafiking karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi. Anak-anak yang ditrafik, misalnya, lebih mudah diwalikan ke orang dewasa manapun yang memintanya.
# Kurangnya Pendidikan: Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian/skill dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah ditrafik karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.
# Korupsi & Lemahnya Penegakan Hukum: Pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku trafiking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal. Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor yang membuat buruh migran lebih rentan terhadap trafiking karena migrasi ilegal. Kurangnya budget/anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha trafiking menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan dan menuntut pelaku trafiking.
3. Pengertian peraturan Mahkamah Agung
Sebagai salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia, Mahkamah Agung diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menerbitkan suatu “peraturan” yang berfungsi sebagai pengisi kekosongan ataupun pelengkap kekurangan aturan terhadap hukum acara, demi memperlancar penyelenggaraan peradilan. Sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 1954, peraturan yang diperoleh berdasarkan delegasi kewenangan itu dinamakan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). Pengakuan PERMA sebagai salah satu jenis perundang-undangan yang tidak dibarengi oleh tindakan menempatkan PERMA di dalam hierarki perundang-undangan akan menjadikan PERMA sebagai peraturan yang sulit dikontrol, padahal jika ditinjau secara substantif beberapa PERMA memiliki karakteristik sebagai suatu perundang-undangan yang mengikat kepada publik. Dengan demikian, perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang di dalamnya mengatur secara tegas tentang pemisahan antara jenis peraturan mana yang dapat dikategorikan sebagai perundang-undangan, dan peraturan mana yang tidak, sehingga bagi peraturan yang telah dikategorikan secara tegas sebagai suatu perundang-undangan, seharusnya dimasukkan ke dalam hierarki perundang-undangan. Sebagai peraturan yang diterbitkan dengan tujuan untuk memperlancar jalannya peradilan, PERMA telah menunjukkan berbagai peranannya di dalam memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan, khususnya di bidang peradilan. Hal ini dapat terlihat dari beberapa putusan hakim yang ternyata mempergunakan PERMA sebagai dasar di dalam bagian pertimbangan hukumnya, dalam hal terjadinya kekosongan ataupun kekurangan aturan di dalam undang-undang hukum acara. Kesemuanya itu dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai sarana penemuan hukum dan dalam rangka melakukan penegakan hukum di Indonesia, sehingga sebaiknya sosialisasi terhadap keberadaan PERMA dapat lebih ditingkatkan, sehingga PERMA dapat lebih mengoptimalkan peranannya di dalam membantu penyelenggaraan pemerintahan, khususnya di bidang peradilan.
4. Upaya yang dilakukan penegak Hukum dan semua pihak yang terkait dalam menangani atau mencegah Perdagangan Anak (Child Trafficking).
Hal utama yang harus dilakukan bersama dalam mencegah perdagangan anak yaitu dapat dilakukan dengan berbagai cara pertama membuat pemetaan masalah perdagangan anak di lndonesia baik untuk tujuan domestik maupun lnternasional, kedua meningkatkan pendidikan masyarakat khususnya pendidkan alternatif bagi anak-anak dan perempuan termasuk meningkatkan sarana dan prasarananya, ketiga meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui pemberian informasi yang seluas-luasnya tentang perdagangan orang beserta seluruh aspek yang terkait didalamnya, keempat perlu adanyanya jaminan dalam aksebilitas terhadap anak-anak dan perempuan yang mencakup masalah pendidikan, pelatihan peningkatan pendapatan dan pelayanan social. Penanganan kasus Child Trafficking merupakan permasalahan yang kompleks, Jadi sudah seharusnya semua pihak memberikan perhatian khusus dalam menangani masalah ini.
1. Upaya yang dilakukan penegak Hukum dalam menangani atau mencegah Perdagangan Anak (Child Trafficking).
1. Mereview dan membuat aturan hukum (pembenahan aspek substansial) yang lebih akomodatif dan lebih tegas terhadap kejahatan Perdagangan Anak (Child Trafficking).
2. Meningkatkan profesionalisme, perlunya jalinan yang padu dan sistemik antar aparatur penegak hukum, Pemerintah Daerah dan seluruh steakholder yang concern dan terkait dalam upaya penanggulangan maraknya trafficking, jika perlu dibentuk suatu badan atau komisi yang secara khusus menangani child trafficking (pembenahan aspek struktural).
3. Peningkatan pemahaman tentang kejahatan child trafficking, sekaligus untuk mengikis konstruksi sosial yang mempersepsikan child traffricking sebagai bentuk kejahatan biasa/komvensional dan maraknya kultur patriarkhi yang mengakibatkan semakin sulitnya pencegahan dan pemberantasan child trafficking.
4. Untuk upaya strategis yang tidak kalah pentingnya dalam rangka pembenahan dari aspek substansi, struktur dan kultur adalah peran Perguruan Tinggi, khususnya Fakultas Hukum melalui bentuk sajian matakuliah yang spesifik mengakomodasi permasalahan trafficking seperti;HAM, Hukum Perlindungan Anak. Dalam mata kuliah tersebut diharapkan substansinya tidak hanya bersifat aplikatif tetapi juga menampilkan perkembangan teori-teori yang dapat dipergunakan untuk merancang bangun model penanggulangan maraknya child trafficking secara lebih terpadu dan sistemik.
2. Upaya yang dilakukan semua pihak yang terkait dalam menangani atau mencegah Perdagangan Anak (Child Trafficking).
Banyak hal yang harus dilakukan oleh semua pihak didalam memerangi atau mencegah child trafficking, antara lain:
1. Terus menerus melakukan kampanye guna membangun kesadaran permanen dikalangan masyarakat maupun sector industri, juga komitmen pemerintah dan penegak hukum guna mendukung perlindungan anak dari child trafficking.
2. Mewujudkan mekanisme kerjasama dan aksi dalam segenap institusi masyarakat dan lembaga-lembaga usaha yang bisa bersinergi untuk memberikan perlindungan anak dari child trafficking.
3. Tersedianya mekanisme nasional dan daerah – antara lain dengan cara bersinergi dalam bentuk task force (kelompok kerja) yang bisa langsung bekerja di lapangan secara komprehensif dan terus menerus didalam memberikan perhatian dan penanganan perlindungan anak dari kejahatan child trafficking.
4. Perlunya dikeluarkan produk hukum anti child trafficking yang pro perlindungan anak dari dari tindak pidana perdagangan anak dan bertujuan untuk perlindungan hukum bagi anak korban child trafficking.
IX. Daftar Pustaka Sementara
Rahmawati, Atik. 2011. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Anak Dengan Tujuan Seksual Komersional.
Pembentukan UU Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (21 April 2007).
JurnalLegality, Vol. 11 No. 2 September 2003-Februari 2004.Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor: M.HH-01.PR.01.01 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementrian Hukum dan HAM tahun 2010-2014Rachmad Syafaat.
Pencegahan Trafficking anak apa, mengapa, dan bagaimana, (16-04-2007).
Hafid Abbas, Ibnu Purma (ed), Landasan Hukum Dan Rencana Aksi Nasional HAM Di Indonesia 2004-2009.
Departemen Hukum Dan HAM Sekretariat Negara Republik Indonesia, 2006.
Benahi sistem Penegakan Hukum, (1 Mei 2007), http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak /2005/ 0105/31/ teropong/lainnya03.htm.
Post title : contoh proposal skripsi tentang traffiking
URL post : http://didiklaw.blogspot.com/2013/12/contoh-proposal-skripsi-traffiking.html
URL post : http://didiklaw.blogspot.com/2013/12/contoh-proposal-skripsi-traffiking.html
0 komentar:
Show Emoticons
Posting Komentar