PERMASALAHAN KEADILAN TERHADAP
TINDAK PIDANA ANAK DI BAWAH UMUR
P R O P O S A L S K R I P S I
Diajukan
Untuk Melengkapi Tugas – tugas dan Syarat
Guna Menyelesaikan
Tingkat Sarjana Lengkap
Dalam Ilmu Hukum di Fakultas Hukum
Universitas
OLEH :
NPM : 0212
Disetujui dan disahkan oleh :
Pembimbing I
SH.
M.Hum.
|
Pembimbing
II
S.H., M.H.
|
Mengetahui
Dekan
, SH. M.Hum.
SISTEMATIKA USULAN
PENELITIAN PROPOSAL
I.
Judul
PERMASALAHAN KEADILAN TERHADAP TINDAK PIDANA ANAK DI BAWAH
UMUR
II. Pelaksanaan
Penelitian
a.
Nama Mahasiswa :
Trisiana Saputri
b. NPM :
0210389812
c.
Jumlah SKS : 21
d. IP
Kumulatif : 3,
e.
Nilai MPH :
e.
Dosen Wali :
ESMARA SUGENG, SH.M.Hum
III.
Dosen Pembimbing :1.Dr AULIA, SH.,MHum
:2LOSO, SH.M.Hum
IV.
Ruang Lingkup/Bidang Kajian : Hukum Pidana
V . Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan Negara hukum yang
berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang mengatur segala
kehidupan masyarakat Indonesia, Hukum disini mempunyai arti yang sangat penting
dalam aspek kehidupan sebagai pedoman tingkah laku manusia dalam hubunganya
dengan manusia yang lain.
Hukum
merupakan sarana untuk mengatur masyarakat sebagai sarana kontrol sosial, maka
hukum bertugas untuk menjaga agar masyarakat dapat tetap berada dalam pola-pola
tingkah laku yang diterima olehnya. Didalam peranannya yang demikian ini hukum
hanya mempertahankan saja apa yang telah terjadi sesuatu yang tetap dan
diterima dalam masyarakat. Tetapi diluar itu hukum masih dapat menjalankan
fungsinya yang lain yaitu dengan tujuan untuk mengadakan perubahan-perubahan di
dalam masyarakat.
Hukum bertugas untuk mengatur
masyarakat yang dimaksudkan bahwa kehadiran hukum dalam masyarakat adalah untuk
mengintegrasikan dan untuk mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan orang
dalam masyarakat, Sehingga diharapkan kepentingan-kepentingan yang satu dan yang
lain tidak saling barlawanan. Untuk mencapai keadaan ini dapat dilakukan dengan
membatasi dan melindungi kepentingan tersebut.
Anak adalah generasi
penerus bangsa. Oleh karena itu setiap anak seharusnya mendapatkan haknya untuk
bermain, belajar dan bersosialisasi. Tetapi keadaannya akan menjadi berbalik
apabila anak melakukan tindak pidana, seperti yang baru terjadi pada kasus 10
siswa Sekolah Dasar yang diadili oleh Pengadilan Negeri Tangerang karena
tertangkap sedang bermain judi lempar koin.[1]
Lalu ketika anak terkena
kasus tindak pidana, bukan berarti polisi ataupun pejabat yang berwenang
lainnya memperlakukan anak sama seperti orang dewasa yang melakukan tindak
pidana.
Maka
dari itu, diperlukan adanya peradilan khusus yang menangani masalah tindak pidana
pada anak yang berbeda dari lingkungan peradilan umum. Dengan demikian, proses
peradilan perkara pada anak yang melakukan tindak pidana dari sejak ditangkap,
ditahan, diadili dan sampai diberikan pembinaan selanjutnya, wajib diberikan
oleh pejabat khusus yang benar-benar memahami masalah anak dan dunianya.
Oleh
karena situasi dan kondisi itulah, penulis merasa prihatin dan tergugah untuk
membuat makalah ini. Karena penulis merasa adanya perbedaan antara teori dan
praktek dalam melaksanakan dan menjalankan hukum tersebut, khususnya kepada
anak yang melakukan tindak pidana dan masih kurangnya perlindungan yang
diperoleh anak yang sedang diproses karena terlibat tindak pidana.
VI. Pembatasan Masalah dan perumusan masalah
1.
Pembatasan Masalah
Dengan
mengingat keterbatasan pemikiran serta waktu yang penulis miliki, maka dalam
skripsi ini penulis akan membatasi pada masalah implementasi UU korupsi
terhadap para pejabat negara.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan
pembatasan masalah maka penulis dapat merumuskan masalah mengenai :
a. Bagaimana terselenggaranya suatu keadilan terhadap kasus
pidana anak di bawah umur ?
b. Bagaimanakah ketertarikan masyarakat terhadap penindakan
kasus anak di bawah umur?
VII. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan
yang hendak dicapai dalam penulisan penelitian ini antara lain yaitu
dikemukakan sebagai berikut :
a.
Untuk mengetahui bagaimana terselenggaranya suatu keadilan terhadap kasus
pidana anak di bawah umur.
b. Untuk mengetahui ketertarikan masyarakat
terhadap penindakan kasus anak di bawah umur.
2.
Kegunaan Penelitian
a.
Untuk menghasilkan bahan pustaka yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaranya
serta memberikan gambaran mengenai terselenggaranya suatu keadilan terhadap
kasus pidana anak di bawah umur.
b.
Pelaksanaan penelitian hendaknya dapat membantu mengetahui hambatan-hambatan
atau permasalahan-permasalahan yang timbul terhadap ketertarikan masyarakat
terhadap penindakan kasus anak di bawah umur.
.
c.
Untuk memenuhi syarat dalam menempuh ujian akhir guna memperoleh gelar sarjana
Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Pekalongan.
VIII. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Anak
1. Menurut UU No.25 tahun
1997 ttg ketenagakerjaan
Pasal 1 angka 20
“ anak adalah orang
laki-laki atau wanita yang berumur kurang dari 15 tahun”
2.Menurut UU RI No.21
tahun 2007 ttg pemberantasan tindak pidana perdagangan orang
Pasal 1 angka 5
“Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. “
3.Menurut UU No.44 thn
2008 ttg Pornografi
Pasal 1 angka 4
“Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun “
4.Menurut UU No. 3 TAHUN
1997 Tentang Pengadilan Anak
Pasal 1 angka 1
“ Anak adalah orang yang
dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin “
5.Menurut UU RI No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 1 angka 1
“Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.”
6.Menurut UU No. 4 Tahun
1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Pasal 1 angka 2
“ Anak adalah seseorang
yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.”
7.Konvensi Hak-hak Anak
Anak adalah setiap manusia
yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak
tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal
8.UU No.39 thn 1999 ttg
HAM
Pasal 1 angka 5
“ Anak adalah setiap
manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan
belum menikah, terrnasuk
anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi
kepentingannya.”
10.Menurut Agama Islam :
“Anak adalah manusia yang
belum mencapai akil baliq ( dewasa ), laki – laki disebut dewasa ditandai
dengan mimpi basah, sedangkan perempuan ditandai dengan masturbasi, jika tanda
– tanda tersebut sudah nampak berapapun usianya maka ia tidak bisa lagi
dikatagorikan sebagai anak – anak yang bebas dari pembebanan kewajiban”
11.Menurut John Locke :
“ anak merupakan pribadi
yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan – rangsangan yang berasal dari
lingkungan”
12.Menurut Agustinus
“ anak tidaklah sama
dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum
dan ketertiban yang di sebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian
terhadap realita kehidupan, anak – anak lebih mudah belajar dengan contoh –
contoh yang diterimanya dari aturan –aturan yang bersifat memaksa”
13.Pasal 45 KUHP
“ anak yang belum dewasa
apabila seseorang tersebut belum berumur 16 tahun “
14.Pasal 330 ayat (1)
KUHperdata
“ Seorang belum dapat
dikatakan dewasa jika orang tersebut umurnya belum genap 21 tahun, kecuali
seseorang tersebut telah menikah sebelum umur 21 tahun “
2. Pengertian Pidana
Pidana atau tindak kriminal
segala sesuatu yang melanggar hukum atau sebuah tindak kejahatan. Pelaku
kriminalitas disebut seorang kriminal. Biasanya yang dianggap kriminal adalah
seorang pencuri, pembunuh, perampok, atau teroris. Walaupun begitu kategori
terakhir, teroris, agak berbeda dari kriminal karena melakukan tindak
kejahatannya berdasarkan motif politik atau paham.
Selama kesalahan seorang
kriminal belum ditetapkan oleh seorang hakim, maka orang ini disebut seorang
terdakwa. Sebab ini merupakan asas dasar sebuah negara hukum: seseorang tetap
tidak bersalah sebelum kesalahannya terbukti. Pelaku tindak kriminal yang
dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan harus menjalani hukuman disebut sebagai
terpidana atau narapidana.
Dalam mendefinisikan
kejahatan, ada beberapa pandangan mengenai perbuatan apakah yang dapat
dikatakan sebagai kejahatan. Definisi kejahatan dalam pengertian yuridis tidak
sama dengan pengertian kejahatan dalam kriminologi yang dipandang secara
sosiologis.
Secara yuridis, kejahatan
dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang melanggar undang-undang atau
ketentuan yang berlaku dan diakui secara legal. Secara kriminologi yang
berbasis sosiologis kejahatan merupakan suatu pola tingkah laku yang merugikan
masyarakat (dengan kata lain terdapat korban) dan suatu pola tingkah laku yang
mendapatkan reaksi sosial dari masyarakat [1]. Reaksi sosial tersebut dapat
berupa reaksi formal, reaksi informal, dan reaksi non-formal.
3. Pidana di Kalangan
Anak-anak
Sebenarnya banyak faktor yang
menyebabkan anak melakukan tindak pidana, bahkan berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh UNAIR pada tahun 2003 terhadap anak-anak yang melakukan
tindak pidana di Jawa Timur sebagian besar karena kondisi ekonomi yang tidak
mampu (74,71%), pendidikan rendah (72,76%), lingkungan pergaulan dan masyarakat
yang buruk (68,87%) dan yang terakhir karena lingkungan keluarga yang tidak
harmonis (66,15%). Dari hasil penelitian ini penyebab utama yang paling besar
adalah karena kondisi ekonomi yang tidak mampu dengan presentase sebanyak
74,71%. Kondisi ekonomi yang tidak mampu memang bisa membuat anak berbuat jahat
apabila imannya kurang dan keinginannya akan sesuatu tak terpenuhi oleh orang
tuanya, tindakan yang dilakukannya bisa berbentuk pencurian benda yang di
inginkannya.
Selain itu, adanya dampak
negative dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang
komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan
gaya dan cara hidup sebagian orang tua telah membawa perubahan sosial yang
mendasar dalam kehidupan masyarakat yang pada gilirannya sangat berpengaruh
terhadap nilai dan perilaku anak Hal yang sama juga diperoleh melalui
adegan-adegan kekerasan secara visualisasi, khususnya melalui media elektronik
(televisi). Melalui tingginya frekuensi tontonan adegan kekerasan akan
melahirkan apa yang di sebut dengan “kultur kekerasan”. Hal ini akan
menimbulkan penggunaan tindak kekerasan yang mengarah kepada tindak pidana
sebagai solusi dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk anak. Anak juga
bisa melakukan tindak pidana karena terinspirasi dari tayangan film yang
bernuansa pornografi dan pornoaksi. Sehingga dalam berbagai kasus ada anak yang
sampai tega memperkosa teman sepermainannya setelah menonton film porno.
4. Proses Pemidanaan Terhadap Anak di Bawah Umur
Sebelum kita membahas tentang proses
pemidanaan terhadap anak di bawah umur pada tingkat penyidikan lebih lanjut,
kita akan ketahui terlebih dahulu kategori anak yang melakukan tindak pidana
yang telah diatur dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 pasal 1 angka 2 yang
berbunyi :
1. Anak yang melakukan tindak pidana.
2. Anak yang melakukan perbuatan yang
dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan
maupun menurut hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Dan mengenai batasan umur anak yang melakukan
tindak pidana diatur dalam pasal 4, yaitu :
1. Batas umur anak nakal yang dapat diajukan
ke sidang pengadilan anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi
belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
2. Dalam hal anak melakukan tindak pidana
pada batas umur sebagaimana di maksud dalam ayat (1) dan di ajukan ke sidang
pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi
belum pernah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun tetapi di ajukan ke sidang
anak.
Menurut Undang-Undang Pengadilan Anak, anak
di bawah umur yang melakukan kejahatan yang memang layak untuk diproses adalah
anak yang telah berusia 8 tahun dan diproses secara khusus yang berbeda dengan
penegakan hukum terhadap orang dewasa. Tetapi pada prakteknya penegakan hukum
kepada anak nakal terkadang mengabaikan batas usia anak. Contohnya pada kasus
Raju yang di sidang di Pengadilan Negeri Atabat Langkat, saat itu dia baru
berusia 7 tahun 8 bulan.
Tegasnya, anak yang melakukan kejahatan jika
dia belum berusia 8 tahun seharusnya tidak diproses secara hukum seperti anak
yang telah berusia 8 tahun.
Bagi anak yang melakukan tindak pidana yang
akan di ajukan ke sidang pengadilan anak harus ditangani oleh hakim yang khusus
menangani perkara anak dan petugas-petugas yang khusus menangani perkara anak.
Seperti yang tercantum dalam pasal 1 angka 5 sampai 8 Undang-Undang No.3
tahun1997 :
1. Penyidik adalah penyidik anak
2. Hakim adalah hakim anak
3. Hakim banding adalah hakim banding anak
4. Hakim kasasi adalah hakim kasasi anak
Dalam pelaksanaannya sidang pengadilan bagi
anak adalah tertutup dan suasana pada sidang anak harus menimbulkan keyakinan
pada anak dan orang tua bahwa hakim ingin membantu memecahkan masalah pada
anak, sebagaimana yang di atur dalam pasal 6 dan pasal 8 Undang-Undang No.3
tahun 1997 :
Pasal 6
Hakim, penuntut umum, penyidik dan penasehat
hukum serta petugas lainnya dalam sidang anak tidak memakai toga atau pakaian
dinas.
Pasal 8
1. Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang
tertutup
2. dalam hal tertentu dan dipandang perlu
pemeriksaan perkara anak sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan
dalam sidang terbuka.
3. Dalam sidang yang dilakukan secara
tertutup hanya dapat dihadiri oleh anak yang bersangkutan beserta orang tua,
wali, orang tua asuh, penasehat hukum dan pembimbing kemasyarakatan.
4. Selain mereka yang disebutkan dalam ayat
3, orang-orang tertentu atas ijin hakim atau majelis hakim dapat menghadiri
persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.
5. Pemberitaan mengenai perkara anak mulai
sejak penyidikan sampai saat sebelum pengucapan putusan pengadilan menggunakan
singkatan dari nama anak, orang tua, wali atau orang tua asuhnya.
Dalam hal jenis pidana dan berat ringannya
pidana pada anak yang melakukan tindak pidana dapat dilihat pada pasal 22
sampai pasal 32 Undang-Undang No.3 tahun 1997 :
Pasal 22
Terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan
pidana atau tindakan yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 23 ayat 3 menetapkan :
Selain pidana pokok sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat 2 terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan berupa
perampasan barang-barang tertentu atau pembayaran ganti rugi.
Lalu pasal 24 ayat 1 menetapkan :
Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak
nakal adalah :
1. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau
orang tua asuhnya.
2. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti
pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
3. Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau
Organisasi Sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan
dan latihan kerja.
Pasal 26 ayat 1 menetapkan :
Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada
anak nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½
dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
Pasal 26 ayat 2 menetapkan :
Apabila anak nakal sebagaimana dimaksud dalam
pasal 1 angka2 huruf a, melakukan tindak pidana yang di ancam dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat
dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.
B.2
Proses pemidanaan pada tingkat penyidikan
Sebelum kita ketahui lebih jauh mengenai
proses pemidanaan terhadap anak di bawah umur pada tingkat penyidikan, kita
akan bahas terlebih dahulu mengenai pengertian penyidikan itu sendiri.
Menurut pasal 1 butir 2 KUHAP, yang dimaksud
dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna
menemukan tersangkanya.
Dalam KUHAP sendiri dikenal ada dua macam
pejabat penyidik, yaitu pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia (penyidik
POLRI) dan pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS). Untuk perkara tindak pidana yang
dilakukan oleh anak-anak pada umumnya adalah ketentuan yang dilanggar dari
peraturan pidana yang ada di KUHP, maka penyelidikannya dilakukan oleh penyidik
umum yaitu penyidik POLRI. Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia yang sekurang-kurangnya pembantu Letnan dua (PELDA) Polisi (sekarang
Ajun Inspektur dua Polisi). [2] Meskipun penyidiknya adalah penyidik dari POLRI
tapi bukan berarti penyidik POLRI bisa melakukan penyidikan terhadap kasus anak
nakal. Dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dikenal
dengan adanya penyidik anak, penyidik inilah yang berwenang melakukan penyidikan.
Mengenai penyidikan diatur dalam pasal 41 Undang-Undang No.3 tahun 1997, yang
antara lain :
Pasal 41 telah menetapkan bahwa :
1. Penyidik terhadap anak nakal, dilakukan
oleh penyidik yang diterapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian
Republik Indonesia.
2. Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan
sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
• Berpengalaman sebagai penyidik tindak
pidana yang dilakukan orang dewasa.
• Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan
memahami masalah anak.
3. Dalam hal tertentu dan dipandang perlu
tugas penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibebankan kepada :
• Penyidik yang melakukan tugas penyidikan
bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; atau
• Penyidik lain yang ditetapkan berdasarkan
ketentuan Undang-Undang.
Lalu bagaimana proses dari pemidanaan itu
sendiri pada tingkat penyidikan?. Proses dari pemidanaan terhadap anak di bawah
umur pada tingkat penyidikan telah diatur dalam pasal 42 Undang-Undang No.3
tahun 1997. Pasal 42 menetapkan :
1. Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam
suasana kekeluargaan
2. Dalam melakukan penyidikan terhadap anak
nakal, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan,
ahli kesehatan jiwa, ahli agama atau petugas kemasyarakatan lainnya.
3. Proses penyidikan terhadap perkara anak
nakal wajib dirahasiakan.
Setelah melakukan penyidikan dapat
dilanjutkan dengan penahanan dan penangkapan terhadap anak nakal, sebagaimana
tercantum dalam pasal 43, 44 dan pasal 45 Undang-Undang No.3 tahun 1997.
Menurut pasal 1 butir 2 KUHP penangkapan adalah suatu tindakan dari penyidik,
berupa pengekangan sementara waktu kebebasan terdakwa apabila terdapat cukup
bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan, sedangkan
penahanan adalah penempatan terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau
penuntut umum atau hakim dengan penetapannya. Dalam Undang-Undang No.3 tahun
1997 tidak dicantumkan mengenai tindakan penangkapan anak, oleh karena itu
dalam hal ini yang digunakan adalah KUHAP sebagai peraturan umumnya.
Untuk melakukan penangkapan seorang anak,
maka penyidik anak wajib memperhatikan surat tugas dan surat perintah
penangkapan kepada yang ditangkap. Surat perintah penangkapan itu berisi
tentang identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian
singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan dan tempat tersangka diperiksa.
Apabila seorang anak nakal tertangkap tangan, maka penangkapannya tidak dilakukan
dengan surat perintah dan yang melakukan penangkapan tidak harus dilakukan oleh
penyidik anak. Pasal 18 ayat (2) KUHAP memerintahkan kepada penyidik bahwa
penangkapan harus segera menyerahkan tersangka beserta barang bukti yang ada
kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. Lamanya penangkapan anak
nakal sama dengan orang dewasa yaitu paling lama satu hari (pasal 19 ayat 1
KUHAP). [3]
Pasal 43 menetapkan :
1. Penangkapan anak nakal dilakukan sesuai
dengan ketentuan KUHAP.
2. Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu)
hari.
Setelah tindakan penangkapan, dapat dilakukan
tindakan penahanan, penahanan ialah penempatan tersangka atau terdakwa ke
tempat tertentu oleh penyidik anak atau penuntut umum anak atau hakim anak
dengan penetapan, Undang-Undang No.3 tahun 1997 dan KUHAP menentukan bahwa
tersangka atau terdakwa dapat ditahan. Menurut pasal 21 ayat 1 KUHAP, alasan
penahanan adalah karena adanya kekhawatiran melarikan diri, agar tidak merusak
atau menghilangkan barang bukti dan agar tidak mengulangi tindak pidana.
Sedangkan menurut Hukum Acara Pidana, menghilangkan kemerdekaan seseorang tidak
merupakan keharusan tetapi untuk mencari kebenaran bahwa seseorang melanggar hukum,
kemerdekaan seseorang itu dibatasi dengan melakukan penangkapan dan penahanan.
Pasal 44 menetapkan :
1. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik
sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) dan ayat (3) huruf a berwenang
melakukan penahanan terhadap anak yang di duga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
2. Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) hanya berlaku untuk paling lama 20 (dua puluh) hari.
3. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) apabila diperlukan guna kepentigan pemeriksaan yang belum selesai,
atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang
untuk paling lama 10 (sepuluh) hari.
4. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari penyidik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah harus menyerahkan berkas perkara yang
bersangkutan kepada penuntut umum.
5. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) dilampaui dan berkas perkara belum diserahkan, maka tersangka
harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
6. Penahanan terhadap anak dilaksanakan di
tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah
Tahanan Negara atau di tempat tertentu.
Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No.3 tahun
1997 menentukan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan
penahanan anak yang di duga keras melakukan tindak pidana (kenakalan)
berdasarkan pada bukti permulaan yang cukup kuat. Penahanan dilakukan apabila
anak melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun ke atas
atau tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Jangka waktu penahanan untuk kepentingan
penyidikan paling lama adalah 20 (dua puluh) hari, untuk kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai dapat diperpanjang paling lama 10 (sepuluh)
hari. Dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penyidik harus
sudah menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Dalam hal ini apabila
anak ditangkap atau ditahan secara tidak sah (tidak memenuhih syarat yang sudah
ditetapkan oleh Undang-Undang), maka anak atau keluarganya atau penasehat
hukumnya dapat meminta pemeriksaan oleh hakim tentang sahnya penangkapan atau
penahanan dalam sidang pra-peradilan.
Pasal 45 menetapkan bahwa :
1. Penahanan dilakukan setelah dengan
sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan
masyarakat.
2. Alasan penahanan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus di nyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan.
3. Tempat penahanan anak harus di pisahkan
dari tempat penahanan orang dewasa.
Selama anak di tahan, kebutuhan jasmani,
rohani dan sosial anak harus tetap di penuhi.
Sesuai dengan pasal 45 ayat (1) Undang-Undang
No.3 tahun 1997 dalam tindakan penahanan, penyidik seharusnya melibatkan pihak
yang berkompeten seperti Psikolog, Pembimbing kemasyarakatan, atau ahli lain
yang diperlukan sehingga penyidik anak tidak salah dalam mengambil keputusan.
Pada pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No. 3
tahun 1997, pelanggaran dan kelalaian atas pasal tersebut tidak diatur secara
tegas akibat hukumnya, sehingga dapat merugikan anak. Sanksi yang dapat
diberikan kepada penyidik anak telah diatur tetapi akibat hukum dari tindakan
penahanan tersebut tidak jelas. Perkembangan hukum di bidang pengadilan anak
semakin menunjukkan adanya kelemahan KUHAP, terutama yang menyangkut masalah pra-peradilan.
Lalu pada pasal 45 ayat (3) Undang-Undang No.
3 tahun 1997, penahanan anak seharusnya di tempatkan secara terpisah dari
narapidana anak yang lain dan tidak boleh di gabung dengan tahanan orang
dewasa, hal ini untuk mencegah akibat negative dari pengaruh narapidana anak
dan orang dewasa apabila si anak belum terbukti melakukan kesalahan atau tindak
pidana.
5. Penegakan Kasus
Tindak Pidana Korupsi
Permasalahan penegakan hukum akhir-akhir ini menjadi perhatian masyarakat
luas yang mulai menunjukkan sikap prihatin karena penegakan hukum yang terjadi
selama ini belum memberikan arah penegakan hukum yang benar sesuai dengan
harapan masyarakat dalam penyelenggaraan Negara hukum Indonesia.
Masyarakat telah sepakata meletakkan dasar reformasi pada tiga pilar,
yaitu pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang ketiganya bertumpu
kepada hukum dan penegakan hukum. Reformasi di bidang hukum dimulai dengan
melakukan perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 (selanjutnya ditulis UUD RI 1945) dan dilanjutkan dengan serangkaian
perubahan undang-undang yang berkaitan dengan penyelenggaraan demokrasi dan
undang-undang yang esensinya melanjutkan sikap yang anti KKN dalam lapangan
hukum administrasi dan hukum pidana.
Dalam perjalannya selama kurang lebih 13 tahun, reformasi di bidang hukum
dan penegakan hukum menunjukkan indikasi yang tidak menggembirakan yang
ditandai dengan kecemasan masyarakat terhadap praktek penegakan hukum, terutama
ditujukan kepada tindak pidana korupsi dan tindak pidana dalam penyelenggaraan
Negara.Pada dua sektor yang terakhir ini (tindak pidana korupsi dan tindak
pidana dalam penyelenggaraan Negara) dalam perkembangannya menunjukkan gelagat
yang tidak menggembirakan dan masyarakat mulai curiga dan meulai tidak percaya
karena ada dugaan terjadinya permainan politik dalam praktek penegakan hukum.
Permainan politik ini tidak dama dengan intervensi politik terhadap aparat
penegak hukum, tetapi lebih jauh lagi terjadi konspirasi antara pemegang kendali
politik/kekuasaan, pembentuk hukum dan dengan aparat penegak hukum dan hakim.
Problem hukum dan penegakan hukum tersebut tercermin dari adanya indikasi
rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap praktek penegakan hukum mulai merembet
naik dan adanya gejala masyarakat cenderung menyelesaikan sendiri di luar
pengadilan meskipun perbuatan tersebut melanggar hukum (melakukan penghakiman
sendiri) dan sekarang mulai ada gerakan untuk menuntut secara resmi dan
pengesahan mengenai penyelesaian perkara di luar pengadilan untuk perkara
pidana serta dibentuknya berbagai komisi independen yang diberi wewenang di
bidang penegakan hukum sebagai bentuk lain dari ketidak percayaan masyarakat
terhadap hukum dan penegakan hukum yang terjadi selama ini
IX. Daftar Pustaka Sementara
Anka Sugandar Ferry SH. MH., Bahan ajar Hukum Acara Pidana, Universitas
Pamulang, Tangerang, 2009.
• Lonthor Ahmad, Penegakan hukum terhadap kejahatan anak dalam perspektif
Islam, www.mytahkim.worpress.com, unknown year.
• Made Sadhi Astuti, Pemidanaan terhadap anak di bawah umur 16 tahun
sebagai pelaku tindak pidana oleh Hakim Pengadilan Negeri wilayah propinsi Jawa
Timur, www.adln.lib.unair.ac.id, 2003.
• Panji Firmansyah Niki, Tinjauan Yuridis terhadap penerapan sanksi
Pidana bagi anak di bawah umur menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3
tahun 1997 di hubungkan dengan putusan Pengadilan Negeri Bandung vide Putusan
Nomor 44/PID/B/2005/PN.BDG, www.one.indoskripsi.com, 2008.
• TvOne, www.tvone.co.id, 2009.
• WangMuba, Kenakalan Remaja dan faktor yang mempengaruhinya,
www.wangmuba.com, 2009.
• Wijiatmoko SH., Proses pemidanaan terhadap anak di bawah umur menurut
Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Analisis Yuridis
Putusan No. 1446/PID.B/2008/PN.JAKSEL), Universitas Pamulang, Tangerang, 2009.
X. Metodologi Penelitian
1. Metode Pendekatan
Metode
yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis
normatif (legal research). Penelitian ini disebut juga penelitian doktrinal
yang memakai peraturan perundang-undagan yang berlaku, teori-teori hukum serta
pandapat para sarjana dan ahli hukum sebagai alat analisa. Metode yang demikian
dipergunakan mengingat pada permasalahan yang akan diteliti adalah mengenai
hukum positif, apakah suatu hukum dapat diterapkan terhadap suatu keadaan sudah
ada.
2. Spesifikasi Penelitian
Penelitian
pada umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan atau menguji kebenaran
suatu pengetahuan. Suatu penelitian mungkin dilakukan hanya sampai taraf
deskriptif.
Penelitian
ini penulis gunakan dengan maksud agar tidak berhenti pada taraf melukiskan
saja akan tetapi dengan keyakinan-keyakinan tertentu mengambil
kesimpulan-kesimpulan umum dari bahan-bahan mengenai objek permasalahanya.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode
pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
:
a. Metode Pengumpulan Data Primer ( Data
Lapangan)
Yang
dimaksud dengan pengumpulan data primer adalah dengan mengadakan penelitian
lapangan langsung pada objeknya.
1). Observasi
Dimana dalam
penelitian ini penulis mengadakan pengamatan secara langsung terhadap sampel
yang bersangkutan untuk memperoleh data yang cukup valid.
2). Wawancara/Interview
adalah tanya jawab dengan pejabat-pejabat ataupun dengan
responden-responden lainya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
b. Metode Pengumpulan Data Sekunder
1).Studi Kepustakaan
Cara ini
digunakan untuk memperoleh data-data sekunder, mencari teori dari
pandangan-pandangan yang bekaitan dengan pokok masalah atau untuk memperoleh
landasan teoritis yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.
2).Studi
Dokumentasi
Dalam studi
dokumentasi ini penulis melakukan pencatatan data yang berhubungan dengan
berbagai peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam
penelitian.
4. Metode Penyajian Data
Data yang dikumpulkan melalui kegiatan pengumpulan data belum memberikan
arti bagi tujuan penelitian. Penelitian belum dapat menarik kesimpulan bagi
tujuan penelitianya, sebab data-data yang dibutuhkan masih merupakan data
mentah sehingga diperlukan usaha untuk mengolahnya.
5. Metode Analisa Data
Setelah data terkumpul kemudian akan dilakukan analisa data dengan
menghubungkan masalah-masalah yang telah dilakukan penelitian agar dapat
dipertanggung jawabkan, analisa akan dilakukan secara normatif kualitatif
dimana hasil yang akan dilaporkan dalam bentuk skripsi.
XI. Jadwal Pelaksanaan Penelitian
a.
Tahapan Penyusunan Proposal : 20 hari
b.
Pengumpulan Data : 25 hari
c.
Analisa Data : 25 hari
d.
Penyusunan Laporan Sementara : 20 hari
e.
Review dan Perbaikan : 15 hari
f.
Penyusunan Laporan Akhir : 25 hari
g.
Perbanyakan Laporan : 10 hari
150
hari
Pekalongan, 2 Desember 2013
NPM : 021
|
Dosen Pembimbing I
a , SH.,MHum
|
Dosen Pembimbing II
SH.M.H.
|
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN
JUDUL………………………………………………………. i
HALAMAN
PENGESAHAN……………………………………………. ii
HALAMAN
MOTTO…………………………………………………. … iii
HALAMAN
PERSEMBHAN…………………………………………….. iv
KATA
PENGANTAR…………………………………………………….. v
DAFTAR
ISI………………………………………………………………. vi
BAB I : PENDAHULUAN………………………………………………
A.
Alasan
Pemilihan Judul……………………………………
B.
Pembatasan
Masalah………………………………………
C.
Perumusan
Masalah……………………………………….
D.
Tujuan
Penelitian………………………………………….
E.
Kegunaan
Penelitian………………………………………
F.
Sistematika
Skripsi………………………………..............
BAB I I
: TINJAUAN
PUSTAKA……………………………………….
A. Pengertian
1. Anak………………………………………………….
2. pidana…………………………………………..
3. alasan
melakukan pidana……………………………
4. Penegakan Hukum
pidana Anak …………………..
B. Implementasi Penegakan
Pidana Anak BAwah Umur…………..
BAB III :
METODE PENELITIAN……………………………………..
A. Metode
pendekatan………………………………………..
B. Spesifikasi
Penelitian………………………………………
C. Metode Pengumpulan
Data……………………………….
D. Metode Penyajian dan Analisa
Data…………………….
BAB IV :
PEMBAHASAN DAN ANALISA DATA…………………..
A.
Hak Dan
kewajiban Para Terpidana…………………..
B.
Ketertarikan
Masyarakat Terhadap Kasus Pidana Anak…………………………………………….............
C.
Analisa
Dari Hasil Penelitian Penyelesaian Masalah Implementasi Penegakan Pidana Anak
di Bawah Umur…………………
BAB V :
PENUTUP………………………………………………………
A.
Kesimpulan…………………………………………………
B.
Saran-Saran………………………………………………..
Daftar
Pustaka
Lampiran
Post title : Contoh Proposal Skripsi Tentang PERMASALAHAN KEADILAN TERHADAP TINDAK PIDANA ANAK DI BAWAH UMUR
URL post : http://didiklaw.blogspot.com/2013/12/contoh-proposal-skripsi-tentang_5.html
URL post : http://didiklaw.blogspot.com/2013/12/contoh-proposal-skripsi-tentang_5.html
0 komentar:
Show Emoticons
Posting Komentar