TUGAS MAKALAH
PERBANKAN
SYARIAH DAN PRODUK-PRODUKNYA
DI BUAT GUNA MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI ISLAM
Dosen Pengampu:
DIBUAT OLEH :
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah memberikan kesehatan kepada kita. Sholawat serta salam semoga
senantiasa tercurah kepada Baginda Rasullullah Muhammad SAW beserta keluarga, para
sahabat dan umatnya, Amin.
Alhamdulillah Penulis dapat menyelesaikan tugas dari
dosen pengampu mata kuliah Etika dan Tanggung Jawab Profesi. dengan judul “Perbankan Syariah dan Produk-Produknya ”.
Makalah ini disusun berdasarkan apa yang Penulis dapat
dari dosen pengampu mata kuliah
Hukum
Ekonomi Islam dan sumber–sumber literatur lain yang relevan. Namun demikian
Penulis menyadari jika adanya kekurangan–kekurangan di dalam makalah ini dan
oleh karena kekurangan itu untuk dapat terlengkapi melalui diskusi serta
bimbingan dan arahan dari dosen pengampu.
Cukup sekian yang dapat Penulis ungkapkan dalam kata
pengantar ini, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Demikian dan terima kasih.
Pekalongan,
25 Mei 2014
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I : PENDAHULUAN
1. Latar Belakang 1
2. Perumusan
Masalah 3
3. Tujuan 3
4. Manfaat 4
BAB II : PEMBAHASAN
- Yang Dimaksud Dengan Perbankan Syariah 5
- Produk Perbankan Syariah 6
BAB
III : PENUTUP
A.
Simpulan
13
B.
Saran 13
Daftar
Pustaka 14
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
beberapa hal, bank konvensional dan perbankan syari’ah memiliki persamaan,
terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi
komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan, proposal,
laporan keuangan dan sebagainya. Akan tetapi, terdapat banyak perbedaan
mendasar di antara keduanya. Perbedaan itu menyangkut aspek legal, struktur
organisasi, usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja. Di samping itu,
paradigma yang dipakai juga berbeda. Bank konvensional hanya sebagai lembaga
perantara keuangan (intermediary financial institution), sehingga tidak boleh
berdagang. Sedangkan perbankan syari’ah, di samping sebagai lembaga perantara
keuangan, juga melakukan perdagangan misalnya melalui jual-beli murabahah.
Landasan
syari’ah perbankan syari’ah adalah ketentuan-ketentuan hukum mu’amalat,
khususnya menyangkut hukum perjanjian (akad). Ada sejumlah akad yang dijadikan
landasan bagi operasionalisasi perbankan syari’ah, seperti jual-beli (al-bai’)
dengan berbagai jenisnya, sewa-menyewa (al-ijarah), perkonsian (al-musyarakah),
bagi hasil (al-mudarabah), gadai (al-rahn), hutang-piutang (al-qard),
pemindahan hutang (al-hiwalah), penanggungan hutang (al-kafalah), dan pemberian
kuasa (perwakilan, al-wakalah).
Bentuk-bentuk
akad jual-beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih mu’amalah terbilang
sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan jika tidak puluhan. Sungguhpun
demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual-beli yang telah banyak
dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi
dalam perbankan syari’ah, yaitu bai’ al-murabahah, bai’ al-salam, dan bai’
al-istisna. Dan secara khusus, produk yang dihasilkan dari sistem jual-beli dan
margin keuntungan adalah bai’ al-murabahah dan al-bai’ bi saman ajil.
B. Perumusan
Masalah
1.
Apa Yang di
Maksud dengan Perbankan Syariah?
2.
Apa saja
produk-produk dari perbankan syariah?
C. Tujuan
Pembahasan
1.
Agar Mengetahui
Maksud dari Perbankan Syariah.
2.
Untuk Memberi
Tahu Produk dari Perbankan Syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
\
A. Perbankan
Syariah
Istilah bank Islam atau bank syari’ah merupakan
fenomena baru dalam dunia ekonomi modern, kemunculannya seiring dengan upaya
gencar yang dilakukan oleh para pakar Islam dalam mendukung ekonomi Islam yang
diyakini akan mampu mengganti dan memperbaiki sistem ekonomi konvensional yang
berbasis pada bunga. Karena itulah sistem bank Islam menerapkan sistem bebas
bunga (interest free) dalam opersionalnya, dan karena itu rumusan yang paling
lazim untuk mendefinisikan bank Islam adalah “bank yang beroperasi sesuai
prinsip-prinsip syari’ah Islam dengan mengacu kepada al-Qur’an dan al-Sunnah
sebagai landasan dasar hukum dan operasional”. Definisi bank Islam dengan
melihat fungsinya sebagai suatu lembaga atau badan keuangan adalah : “lembaga
keuangan yang usaha pokoknya memberi kredit dan jasa-jasa dalam lalu-lintas
pembayaran serta peredaran uang yang sistem operasionalnya disesuaikan dengan
prinsip-prinsip syari’ah Islam”.
Berkembangnya bank-bank syari’ah di negara-negara
Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai
bank syari’ah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang
terlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawam
Rahardjo, A. M. Saefuddin, M. Amien Aziz, dan lain-lain. Beberapa uji coba pada
skala yang reelatif terbatas telah diwujudkan. Di antaranya adalah Bait
al-Tamwil Salman, Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga
dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.Akan
tetapi, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru
dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20
Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua,
Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada
Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jakarta, 22-25
Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk
mendirikan bank Islam di Indonesia.Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil
kerja Tim Perbankan MUI tersebut di atas. Akte Pendirian PT Bank Muamalat
Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 Nopember 1991. Pada saat
penandatanganan akte pendirian ini, terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak
Rp. 84 miliar. Pada tanggal 3 Nopember 1991, dalam acara silaturrahim Presiden
di Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal
sebesar Rp. 106.126.382.000,00. Dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei
1992, BMI mulai beroperasi.
Indonesia sebagai negara Islam yang terbesar mulai
mengoperasikan bank Islam di awal 90-an. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor yang membuat negara kita terlambat dalam pengembangan perbankan Islam,
yaitu :Adanya kendala dasar hukum yang belum memungkinkan pengembangan
perbankan syari’ah dilakukan, dimana dalam UU No. 14 tahun 1967 tentang
pokok-pokok perbankan tidak mengenal Bank Syari’ah. Hal ini tentunya dalam
kenyaatan menjadi kendala bagi perbankan syari’ah sebagai salah satu instrumen
ekonomi. Adanya perbedaan di kalangan ulama mengenai bunga.Indonesia mempunyai
kondisi sosial politik yang kurang kondusif, yaitu belum adanya political will
dari pemerintah, tingkat heterogenitas masyarakat Indonesia yang cukup tinggi
dan komitmen serta tanggungjawab yang harus dipikul karena mencantumkan label
syari’ah. Bank syari’ah dalam sistem perbankan Indonesia secara formal telah
dikembangkan sejak tahun 1992 dengan diberlakukannya UU No. 7 tahun 1992
tentang perbankan. Namun demikian, UU tersebut belum memberi landasan hukum
yang kuat terhadap pengembangan bank Islam/syari’ah karena belum secara tegas
mengatur keberadaan bank berdasarkan prinsip syari’ah melainkan bank bagi
hasil. Pengertian bank bagi hasil yang dimaksudkan dalam UU Perbankan No. 7
tahun 1992 belum mecakup secara tetap pengertian bank Islam yang memiliki
cakupan lebih luas dari bank bagi hasil. Demikian pula dengan ketentuan
operasional yang lengkap yang secara khusus mengatur kegiatan bank Islam. Pada
awal pendirian BMI, keberadaan bank syari’ah ini belum mendapat perhatian yang optimal
dalam tatanan industri perbankan nasional. Hal ini sangat jelas tercermin dari
UU No. 7 tahun 1992, di mana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil
diuraikan hanya sepintas lalu dan merupakan “sisipan” belaka.Pemberlakuan UU
perbankan No. 10 tahun 1998 yang mengubah UU No. 7 tahun 1992 yang diikuti
dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk SK Direksi
BI/Peraturan Bank Indonesia telah memberi landasan hukum yang lebih kuat dan
kesempatan yang lebih luas bagi pengembangan perbankan syari’ah di Indonesia.
Perundang-undangan tersebut memberi kesempatan yang luas untuk pengembangan
jaringan perbankan Islam antara lain melalui izin pembukaan kantor cabang
syari’ah (KCS) oleh bank konvensional. Dengan kata lain, bank umum dimungkinkan
untuk menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan sekaligus dapat
melakukannya berdasarkan prinsip syari’ah.Selain itu, UU No. 13 tahun 1999
tentang Bank Indonesia juga mengizinkan BI mempersiapkan perangkat peraturan
atau fasilitas-fasilitas penunjang yang mendukung operasional bank Islam. Kedua
UU tersebut di atas menjadi dasar hukum penerapan Dual Banking System di
Indonesia. DBS yang dimaksud adalah terselenggaranya dua sistem perbankan
(konvensional dan syari’ah) secara berdampingan dalam melayani perekonomian
nasional yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan yang berlaku.
B. Produk
Perbankan Syariah
1. Bai’ al-Murabahah dan Bai’ bi Saman Ajil
Terdapat beberapa istilah yang kadang-kadang
dicampurbaurkan satu sama lain atau bahkan dikacaukan pemakaiannya dan bukan
hanya sekedar sinonim, yaitu bai’ al-muajjal, bai’ al-murabahah dan bai’ bi
saman ajil. Di Indonesia digunakan istilah bai’ al-murabahah dan bai’ bi saman
ajil. Kedua istilah ini dibedakan di mana yang pertama dimaksudkan pembiayaan
dalam bentuk jual-beli berdasarkan harga pokok ditambah margin keuntungan
dengan pembayaran dibelakang sekaligus. Sedangkan yang kedua dimaksudkan
pembiayaan dalam bentuk jual-beli berdasarkan harga pokok ditambah margin
keuntungan dengan pembayaran di belakang juga, tetapi secara mencicil dan tidak
sekaligus.Kedua macam transaksi tersebut disebut dengan nama bai’ al-muajjal
(jual beli dengan pembayaran di belakang), sehingga dengan demikian bai’
al-muajjal mencakup bai’ al-murabahah dan bai’ bi saman ajil. Hal ini karena
kedua jenis pembiayaan tersebut, menurut yang berlaku di Indonesia,
pembayarannya di belakang. Perbedaannya hanya pada secara sekaligus atau
mencicil. Jadi, bai’ bi saman ajil merupakan second derivation/pengembangan
dari murabahah. Hal ini tampak jelas dari unsur waktu pembayarannya.Akad bai’ al-murabahah juga mirip (tidak sama)
dengan akad Kredit Modal Kerja yang biasa diberikan oleh bank konvensional, dan
karenanya pembiayaan al-murabahah berjangka waktu di bawah satu tahun (short
run financing).Dasar hukum yang dijadikan sebagai landasan murabahah adalah
merujuk pada dasar hukum jual-beli :
” وأحل اللة البيع وحرم الربا”
Dalam hadis Rasulullah juga ditegaskan :
” ثلاث فيهن البركة: البيع إلى أجل والمقارضة وخلط البر بالشعير
للبيت لا للبيع “
Operasionalisasi produk ini di Indonesia didasarkan
atas fatwa DPS BMI No. BMI-16/FAT-DPS/XI/96 tentang pembiayaan murabahah,
tertanggal 27 Nopember 1996 M atau bertepatan 16 Rajab 1417 H. Fatwa ini
ditandatangani oleh DPS BMI, terdiri atas KH. Hasan Basri (ketua merangkap
anggota), KH. Ali Yafie (anggota), Drs. KH. Ahmad Azhar Basyir, MA. (anggota),
Prof. KH. Ibrahim Hossen (anggota) dan Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab
(anggota). Pertimbangan ekonomis yang dipakai adalah bahwa masyarakat pengusaha
banyak yang memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank berdasarkan pada
prinsip jual-beli untuk mendukung modal kerja yang diperlukan guna
melangsungkan dan meningkatkan produksi. Adapun pertimbangan legal-yuridisnya
adalah UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan dan PP No. 72 tahun 1992 tentang
bank bagi hasil.Secara teknis, akad bai’ al-murabahah tersebut terlaksana
dengan kedatangan nasabah ke bank syari’ah dan mengajukan permohonan Pembiayaan
al-Murabahah untuk pembelian suatu barang dan menyatakan kesanggupan untuk
membeli barang tersebut. Setelah melihat kelayakan nasabah untuk menerima
fasilitas pembiayaan tersebut, maka bank menyetujui permohonannya. Bank
kemudian membelikan atau menunjuk nasabah sebagai agen bank untuk membeli
barang yang diperlukannya atas nama bank dan menyelesaikan pembayaran harga
barang dari biaya bank. Bank seketika itu juga menjual barang tersebut kepada
nasabah pada tingkat harga yang disetujui bersama (yang terdiri dari harga
pembelian ditambah mark-up atau margin keuntungan) untuk dibayar dalam jangka
waktu yang telah disetujui bersama. Dan pada waktu jatuh tempo, nasabah
membayar harga jual barang yang telah disetujui tersebut kepada bank.
Adapun rukun bai’ al-murabahah di dalam perbankan sama
dengan rukun jual-beli dalam kitab fiqih dan hanya dianalogkan dalam praktek
perbankan, yaitu:
Penjual (al-bai’) dianalogkan sebagai bank;
Pembeli (al-musytari) dianalogkan sebagai nasabah;
Barang yang akan diperjual belikan (al-mabi’), yaitu
jenis barang pembiayaan;
Harga (al-saman) dianalogkan sebagai pricing atau
plafond pembiayaan;
Ijab dan qabul dianalogkan sebagai akad atau
perjanjian, yaitu pernyataan persetujuan yang dituangkan dalam akad perjanjian.Sedangkan
syarat-syaratnya disesuaikan dengan kebijakan bank syari’ah yang bersangkutan,
yang pada umumnya persyaratan menyangkut barang yang diperjual-belikan, harga
dan ijab-qabul.Bai’ al-murabahah dapat dilakukan secara pemesanan dengan cara
janji untuk melakukan pembelian (al-wa’d bi al-bai’). Janji pemesan untuk
membeli barang dalam bai’ al-murabahah bisa merupakan janji yang mengikat, bisa
juga tidak. Para ulama klasik bersepakat bahwa pemesan tidak boleh diikat untuk
memenuhi kewajiban membeli barang yang telah dipesan itu disertai alasan secara
rinci mengenai pelarangan tersebut. Akan tetapi beberapa ulama kontemporer
berpendapat bahwa janji untuk membeli barang tersebut bisa mengikat pemesan.
Hal ini demi menghindari “kemadharatan”. Terlebih lagi bila nasabah bisa
“pergi” begitu saja akan sangat merugikan pihak bank atau penyedia barang.Dalam
hal ini, pembeli dibolehkan meminta pemesan membayar uang muka atau tanda jadi
(arboun dalam istilah beberapa bank Islam) saat menandatangani kesepakatan awal
pemesanan. Uang muka adalah jumlah yang dibayar oleh pemesan yang menunjukkan
bahwa ia bersungguh-sungguh atas pesanannya tersebut. Adapun uang muka akan
diperhitungkan sesuai besar kerugian aktual pembeli. Bila kemudian pemesan
menolak untuk membeli aset tersebut, biaya riil pembeli harus dibayar dari uang
muka. Bila nilai uang muka tersebut lebih sedikit dari kerugian yang harus
ditanggung pembeli, pembeli dapat meminta kembali sisa kerugiannya pada
pemesan. Sedangkan bila uang muka melebihi kerugian, pembeli (penerima pesanan)
harus mengembalikan kelebihan itu kepada pemesanUntuk menjaga agar pemesan
tidak main-main dengan pesanan maka diperbolehkan meminta jaminan. Si pembeli
(penyedia pembiayaan/bank) dapat meminta pemesan (pemohon/nasabah) suatu
jaminan (rahn) untuk dipegangnya. Dalam teknis operasionalnya, barang-barang yang
dipesan dapat menjadi salah satu jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran
hutang.Murabahah dengan pemesanan umumnya dapat diterapkan pada produk
pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi, baik domestik maupun luar
negeri, seperti melalui letter of credit (L/C). Skema ini paling banyak
digunakan karena sederhana dan tidak terlalu asing bagi yang sudah biasa
bertransaksi dengan dunia perbankan pada umumnya. Kalangan perbankan syari’ah
di Indonesia banyak menggunakan al-murabahah secara berkelanjutan (roll
over/evergreen) seperti untuk modal kerja. Padahal sebenarnya, al-murabahah
adalah kontrak jangka pendek dengan sekali akad (one short deal). Al-murabahah
tidak tepat diterapkan untuk skema modal kerja. Tetapi mudarabah lebih sesuai
untuk skema tersebut. Hal ini mengingat prinsip mudarabah memiliki fleksibilitas
yang sangat tinggi.
Sesuai dengan sifat bisnis (tijarah), transaksi bai’
al-murabahah memiliki beberapa manfaat, demikian juga resiko yang harus
diantisipasi. Bai’ al-murabahah memberi banyak manfaat kepada bank syari’ah.
Salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari
penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu, sistem bai’ al-murabahah
juga sangat sederhana. Hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di
bank syari’ah. Di antara kemungkinan resiko yang harus diantisipasi antara lain
adalah default atau kelalaian, fluktuasi harga komparatif, penolakan nasabah,
dijual nasabah.
2. Bai’ as-Salam
Adalah pembelian barang yang diserahkan di kemudian
hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka.
Landasan syari’ah transaksi bai’ al-salam adalah
1. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya….”.
2. “Barangsiapa yang melakukan salaf (salam),
hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula,
untuk jangka waktu yang diketahui”.
3. Berkata Ibn Mudhir bahwa semua pakar ilmu yang saya
ketahui telah berkonsensus keabsahan al-salam karena kebutuhan manusia
terhadapnya.
Pelaksanaan bai’ al-salam harus memenuhi sejumlah
rukun berikut ini :
a) Muslam
atau pembeli;
b) Muslam
ilaih atau penjual;
c) Modal
atau uang;
d) Muslam
fih atau barang;
e) Sighat
atau ucapan.
Di samping segenap rukun harus terpenuhi, bai’
al-salam juga mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing
rukun. Dan yang terpenting adalah tentang modal dan barang. Syarat-syarat yang
harus terpenuhi dalam modal bai’ al-salam adalah barang yang akan disuplai
harus diketahui jenis, kualitas dan jumlahnya dan pembayaran harus dilakukan di
tempat kontrak.Sedangkan di antara syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
muslam fih atau barang yang ditransaksikan adalah harus spesifik dan dapat
diketahui sebagai utang, harus bisa diidentifikasikan secara jelas, penyerahan
dilakukan di kemudian hari, tempat penyerahan barang harus disepakati, dan
sebagainya.
Bai al-salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan
bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Juga
dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalnya produk garmen
(pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Bai’ al-salam
juga bisa terjadi secara pararel, yaitu melaksanakan dua transaksi antara bank
dan nasabah, dan antara bank dan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya
secara simultan.Manfaat bai’al-salam adalah selisih harga yang didapat dari
nasabah dengan harga jual kepada pembeli.
3. Bai’ al-Istishna’
Merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat
barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli.
Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli
barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli
akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran; apakah
pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu
waktu pada masa yang akan datang. Menurut jumhur fuqaha –Malikiah, Syi’ah dan
Hanbaliah–, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari akad bai’
al-salam. Biasanya, jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan
demikian, ketentuan bai’ al-istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’
al-salam.Secara umum, landasan syari’ah yang berlaku pada bai’ al-salam juga
berlaku pada bai’ al-istishna’. Sungguhpun demikian, para ulama membahas lebih
lanjut “keabsahan” bai’ al-istishna’. Menurut mazhab Hanafi, bai’ al-istishna’
termasuk akad yang dilarang karena bertentangan dengan semangat bai’ secara
qiyas. Mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus
ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok kontrak itu
belum ada atau tidak dimiliki penjual. Meskipun demikian, mazhab Hanafi
menyetujui kontrak istishna’ atas dasar istihsan.Sebagian
fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ adalah sah atas dasar
qiyas dan aturan umum syari’ah karena itu memang jual-beli biasa dan si penjual
akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga
kemungkinan terjadi perselisihan atas jenis dan kualitas barang dapat
diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan
material pembuatan barang tersebut.Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa
saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan
kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’
kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak baru ini
dikenal sebagai istishna’ paralel.Bai’ al-istishna’ dapat diterapkan dalam (1)
pengadaan barang dan (2) pembiayaan impor. Hal ini hampir serupa dengan
murabahah, hanya saja dalam istishna’, bank memesan suatu barang tertentu dari
produsen atas nama nasabah, manakala murabahah bank membeli atas pesanan
nasabah.Analisa Terhadap Perkembangan Perbankan Syari’ah dan Aplikasi
Produk-produk Berdasarkan Prinsip Jual-BeliPerbankan syari’ah yang telah
diperkenalkan kepada masyarakat sejak tahun 1992 hingga saat ini belum
menunjukkan pertumbuhan sebagaimana yang diharapkan. Perkembangan perbankan
syari’ah di Indonesia masih pada tahap awal. Hal ini ditunjukkan dengan
populasi yang masih kecil, yaitu satu bank umum syari’ah dan 77 bank
perkreditan rakyat syari’ah (BPRS) dibandingkan dengan populasi bank
konvensional sejumlah 208 bank umum dan 2.231 bank perkreditan rakyat (BPR).
Dari jumlah 77 BPRS tersebut, diperkirakan sekitar 30 % dalam kondisi baik,
selebihnya memerlukan perhatian dan penanganan yang serius untuk
kelangsungannya.Sedangkan bait al-mal wa al-tamwil (BMT) menunjukkan pertumbuhan
yang cukup baik, dari mulai hanya satu BMT di tahun 1992, kini BMT telah
mencapai jumlah 1.957 BMT yang tersebar di hampir seluruh propinsi di
Indonesia.Hadirnya bank syari’ah dewasa ini menunjukkan kecenderungan yang
semakin baik. Produk-produk yang dikeluarkan bank syari’ah cukup
bervariatif sehingga mampu memberikan
pilihan/alternatif bagi calon nasabah untuk memanfaatkannya. Berdasarkan survey
yang pernah dilakukan, kebanyakan bank syari’ah masih mengedepankan produk
dengan akad jual-beli, di antaranya
adalah murabahah dan bai’ bi saman ajil (murabahah investasi). Bahkan
produk murabahah merupakan produk yang paling banyak digunakan selama ini. Hal
ini, mungkin, karena pertimbangan resiko dan keuntungan yang akan diperoleh
bank syari’ah.Dengan murabahah, resiko yang mungkin dialami bank syari’ah
sangat kecil dan bank juga tidak tahu tentang untung dan rugi nasabah.
Sedangkan bila menggunakan produk mudarabah (sistem bagi hasil), maka resiko
yang mungkin dialami bank syari’ah sangat tinggi dan rentan terhadap
kemungkinan bahaya moral. Karena bank syari’ah berasumsi bahwa semua orang
adalah jujur sehingga bank rawan berhadapan dengan orang yang beri’tikad kurang
baik. Di samping itu, perhitungan-perhitungan dalam produk mudarabah (sistem
bagi hasil) lebih rumit bila dibandingkan perhitungan dalam bank konvensional,
sehingga dibutuhkan tenaga profesional yang betul-betul handal. Padahal, selama
ini kebanyakan tenaga profesional yang dimiliki bank syari’ah diambil dari bank
konvensional yang masih terkonstruk perhitungan dengan sistem bunga.Dalam dunia
modern, istilah bai’ al-murabahah sudah merupakan perluasan dari pengertiannya
yang klasik. Istilah murabahah digunakan untuk mengacu pada suatu kesepakatan
yang di dalamnya pembelian barang oleh bank dikehendaki konsumennya yang
membutuhkan barang tersebut dan kemudian menjual barang tersebut kepada
konsumen dengan harga yang disepakati dengan memberikan keuntungan tertentu
kepada bank. Pembayaran dilakukan oleh konsumen dalam kurun waktu yang ditentukan
dengan cara kredit/tunai. Perjanjian semacam ini oleh Sami Hamud disebut bai’
al-murabahah li al-amir bi al-syira’ (penjualan dengan keuntungan marginal yang
disepakati kepada seseorang yang memesan barang tersebut). Belakangan ini lebih
dikenal dengan sebutan murabahah.Dalam praktek/realisasi produk bai’
al-murabahah –pembayaran tempo dengan sekaligus/langsung lunas– di
lapangan/perbankan syari’ah tidak ada. Yang ada adalah murabahah yang
pembayarannya dilakukan secara kredit/cicilan (murabahah yang bai’ bi saman
ajil). Atau, murabahah yang dimodifikasi dalam istilah Sami Hamud. Jadi, dalam
prakteknya, murabahah disamakan dengan bai’ bi saman ajil yang notabenenya
kurang banyak diminati. Di samping itu, dalam prakteknya, tenaga pelaksana di
lapangan biasanya enggan menerangkan seluk-beluk dan landasan fiqh murabahah
atau bisa jadi menganggap calon nasabah telah paham. Karena itu, murabahah
disimplikasi dalam satu rangkaian kalimat pendek, “margin kami 20 % per tahun”.
Dan dalam prakteknya, sistem perhitungan dalam penetapan jasa bank masih
mengacu dan disesuaikan dengan standar bunga pada bank konvensional dan belum
memiliki standard perhitungan baku yang otonom dan mandiri. Tentu saja banyak
masyarakat yang mengira bank syari’ah sekedar mengganti istilah bunga dengan
margin. Atau dengan kata lain, siasat bunga bank yang dibungkus dengan
prinsip-prinsip syari’ah.Sedangkan untuk meminimalisir –bahkan menghilangkan–
kesenjangan antara konsep dan praktek dalam realitas, khususnya dalam produk
murabahah, maka perbankan syari’ah harus benar-benar istiqamah dalammenerapkan/merealisasikan
produk-produk yang ditawarkan kepada para nasabah sesuai dengan konsep-konsep
yang ada. Di samping itu sosialisasi produk-produk yang ada lebih ditingkatkan,
misalnya dengan promosi. Dalam hal ini, peran ulama dan cendekiawan muslim juga
sangat diperlukan dalam memberikan wawasan dan pemahaman tentang produk-produk
tersebut kepada masyarakat luas yang masih awam tentang operasionalisasi dan
mekanisme perbankan syari’ah.Dan yang tidak kalah penting, perbankan syari’ah
harus memiliki standar sistem perhitungan dalam penetapan jasa bank tanpa harus
bergantung pada standar dalam perhitungan bunga. Oleh karena itu, penentuan
besarnya mark-up dalam murabahah harus mengacu pada perhitungan besarnya
keuntungan yang diperoleh nasabah yang menjalankan transaksi murabahah, bukan
mengacu pada suku bunga dalam bank konvensional.Banyak orang yang menyamakan
bai’ al-salam dengan ijon, padahal terdapat perbedaan besar di antara keduanya.
Dalam ijon, barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang secara jelas dan
spesifik. Demikian juga penetapan harga beli sangat bergantung kepada keputusan
sepihak si tengkulak yang seringkali sangat dominan dan menekan petani yang
posisinya lebih lemah. Adapun transaksi bai’ al-salam mengharuskan adanya
pengukuran dan spesifikasi barang yang jelas dan adanya keridhaan yang utuh
antara kedua belah pihak. Di sisi lain, banyak pula yang salah dalam membedakan
bai’ al-salam dengan bai’ al-istishna’, padahal keduanya mempunyai perbedaan
yang jelas.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Salah
satu kendala yang dihadapi dunia perbankan syariah adalah kurang dikenalnya
produk-produk perbankan syariah oleh masyarakat. Hal ini mungkin karena
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang produk mapun jasa perbankan syariah
sehinga masyarakat enggan untuk memanfaatkanya.
Pada
dasarnya prinsip dasar pada produk-produk perbankan syariah adalah terbagi
kedalam prinsip simpanan yang biasa disebut dengan prinsip wadiah, prinsip bagi
hasil (profit sharing) yang terbagi atas prinsip mudharabah dan murabahah. Dan
prinsip murabahah. Produk perbankan syariah secara garis besar terdiri atas
produk penghimpun dana, produk penyaluran dana dan jasa perbankan.
Setidaknya
ada tiga karakteristik produk perbankan syariah yang membedakanya dengan produk
bank konvensional. Petama, adalah akadnya. Semua transaksi dalam perbankan
syariah harus dilandasi dengan akad. Kedua, adalah pada imbalan yang
diberiakan. Pada perbankan syariah menggunakan prinsip bagi hasil bukan bunga.
Karakeristik ketiga adalah pada sasara kredit atau pembiayaan. Pada perbankan
syariah pembiayaan harus pada kegiatan yang sesuai dengan syariat islam.
DAFTAR PUSTAKA
Heri Sudarsono, 2005, Bank dan Lembaga Keuangan
Syariah (Deskriptip dan Ilustratip), Yogyakarta, Penerbit Ekonisia
http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah
http://suherilbs.files.wordpress.com/2007/12/dampak-pengembangan-sukuk-terhadap-perkembangan-perbankan-syariah-di-indonesia.doc
http://Blogdetik.com/produk-syariah/sannicommunity/March
28, 2008
http://hukumonline.com//Perbankan&keuangan-bank-syariah,
oleh mahawisnu alam/ 22 april 2008
http://sinarharapan.com//prinsip-dasar-perbankan-syariah
Post title : Makalah Perbankan Syariah dan Produk-Produknya
URL post : http://didiklaw.blogspot.com/2014/05/makalah-perbankan-syariah-dan-produk.html
URL post : http://didiklaw.blogspot.com/2014/05/makalah-perbankan-syariah-dan-produk.html
0 komentar:
Show Emoticons
Posting Komentar