MAKALAH
PERBANKAN
SYARIAH
DAN PRODUK-PRODUKNYA
DI BUAT GUNA MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI ISLAM
Dosen Pengampu:
FAKULTAS HUKUM
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah memberikan kesehatan kepada kita. Sholawat serta salam semoga
senantiasa tercurah kepada Baginda Rasullullah Muhammad SAW beserta keluarga,
para sahabat dan umatnya, Amin.
Alhamdulillah Penulis dapat menyelesaikan tugas dari
dosen pengampu mata kuliah Etika dan Tanggung Jawab Profesi. dengan judul “Perbankan Syariah dan Produk-Produknya ”.
Makalah ini disusun berdasarkan apa yang Penulis dapat
dari dosen pengampu mata kuliah
Hukum
Ekonomi Islam dan sumber–sumber literatur lain yang relevan. Namun demikian
Penulis menyadari jika adanya kekurangan–kekurangan di dalam makalah ini dan
oleh karena kekurangan itu untuk dapat terlengkapi melalui diskusi serta
bimbingan dan arahan dari dosen pengampu.
Cukup sekian yang dapat Penulis ungkapkan dalam kata
pengantar ini, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Demikian dan terima kasih.
Pekalongan,
25 Mei 2014
Didik Wahyudi
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I : PENDAHULUAN
1. Latar Belakang 1
2. Perumusan
Masalah 3
3. Tujuan 3
4. Manfaat 4
BAB II : PEMBAHASAN
- Maksud Perbankan Syariah 5
- Produk Perbankan Syariah 6
BAB
III : PENUTUP
A.
Simpulan
13
B.
Saran 13
Daftar
Pustaka 14
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Landasan
syari’ah perbankan syari’ah adalah ketentuan-ketentuan hukum mu’amalat,
khususnya menyangkut hukum perjanjian (akad). Ada sejumlah akad yang dijadikan
landasan bagi operasionalisasi perbankan syari’ah, seperti jual-beli (al-bai’)
dengan berbagai jenisnya, sewa-menyewa (al-ijarah), perkonsian (al-musyarakah),
bagi hasil (al-mudarabah), gadai (al-rahn), hutang-piutang (al-qard),
pemindahan hutang (al-hiwalah), penanggungan hutang (al-kafalah), dan pemberian
kuasa (perwakilan, al-wakalah).
Bentuk-bentuk
akad jual-beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih mu’amalah terbilang
sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan jika tidak puluhan. Sungguhpun
demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual-beli yang telah banyak
dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi
dalam perbankan syari’ah, yaitu bai’ al-murabahah, bai’ al-salam, dan bai’
al-istisna. Dan secara khusus, produk yang dihasilkan dari sistem jual-beli dan
margin keuntungan adalah bai’ al-murabahah dan al-bai’ bi saman ajil.
B. Perumusan
Masalah
1.
Apa Yang di
Maksud dengan Perbankan Syariah?
2.
Apa saja
produk-produk dari perbankan syariah?
C. Tujuan
Pembahasan
1.
Agar Mengetahui
Maksud dari Perbankan Syariah.
2.
Untuk Memberi
Tahu Produk dari Perbankan Syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
\
A. Perbankan
Syariah
Pengertian bank menurut UU No 7 tahun 1992 adalah
badan usaha yang menghimpun dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak. Istilah Bank dalam literatur Islam tidak dikenal. Suatu lembaga yang
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat, dalam
literature islam dikenal dengan istilah baitul mal atau baitul tamwil. Istilah
lain yang digunakan untuk sebutan Bank Islam adalah Bank Syari'ah. Secara
akademik istilah Islam dan syariah berbeda, namun secara teknis untuk
penyebutan bank Islam dan Bank Syari'ah mempunyai pengertian yang sama.
Dalam RUU No 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa Bank Umum
merupakan bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau
berdasarkan prinsip syari'ah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu
litas pembayaran. Lebih lanjut dijelaskan bahwa prinsip syari'ah adalah aturan
perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk
menyimpannya, pembiayaan atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan
syari'ah. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, Bank Syari'ah berarti bank yang
tata cara operasionalnya didasari dengan tatacara Islam yang mengacu kepada
ketentuan alquran dan al hadist.
Istilah bank Islam atau bank syari’ah merupakan
fenomena baru dalam dunia ekonomi modern, kemunculannya seiring dengan upaya
gencar yang dilakukan oleh para pakar Islam dalam mendukung ekonomi Islam yang
diyakini akan mampu mengganti dan memperbaiki sistem ekonomi konvensional yang
berbasis pada bunga. Karena itulah sistem bank Islam menerapkan sistem bebas
bunga (interest free) dalam opersionalnya, dan karena itu rumusan yang paling
lazim untuk mendefinisikan bank Islam adalah “bank yang beroperasi sesuai
prinsip-prinsip syari’ah Islam dengan mengacu kepada al-Qur’an dan al-Sunnah
sebagai landasan dasar hukum dan operasional”. Definisi bank Islam dengan
melihat fungsinya sebagai suatu lembaga atau badan keuangan adalah : “lembaga
keuangan yang usaha pokoknya memberi kredit dan jasa-jasa dalam lalu-lintas
pembayaran serta peredaran uang yang sistem operasionalnya disesuaikan dengan
prinsip-prinsip syari’ah Islam”.
Berkembangnya bank-bank syari’ah di negara-negara
Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai
bank syari’ah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang
terlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawam
Rahardjo, A. M. Saefuddin, M. Amien Aziz, dan lain-lain. Beberapa uji coba pada
skala yang reelatif terbatas telah diwujudkan. Di antaranya adalah Bait
al-Tamwil Salman, Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga
dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.Akan
tetapi, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru
dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20
Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua,
Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada
Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jakarta, 22-25
Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk
mendirikan bank Islam di Indonesia.Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil
kerja Tim Perbankan MUI tersebut di atas. Akte Pendirian PT Bank Muamalat
Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 Nopember 1991. Pada saat
penandatanganan akte pendirian ini, terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak
Rp. 84 miliar. Pada tanggal 3 Nopember 1991, dalam acara silaturrahim Presiden
di Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal
sebesar Rp. 106.126.382.000,00. Dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei
1992, BMI mulai beroperasi.
B. Produk
Perbankan Syariah
1. Bai’
al-Murabahah dan Bai’ bi Saman Ajil
Terdapat beberapa istilah yang kadang-kadang
dicampurbaurkan satu sama lain atau bahkan dikacaukan pemakaiannya dan bukan
hanya sekedar sinonim, yaitu bai’ al-muajjal, bai’ al-murabahah dan bai’ bi
saman ajil. Di Indonesia digunakan istilah bai’ al-murabahah dan bai’ bi saman
ajil. Kedua istilah ini dibedakan di mana yang pertama dimaksudkan pembiayaan
dalam bentuk jual-beli berdasarkan harga pokok ditambah margin keuntungan
dengan pembayaran dibelakang sekaligus. Sedangkan yang kedua dimaksudkan
pembiayaan dalam bentuk jual-beli berdasarkan harga pokok ditambah margin
keuntungan dengan pembayaran di belakang juga, tetapi secara mencicil dan tidak
sekaligus.Kedua macam transaksi tersebut disebut dengan nama bai’ al-muajjal
(jual beli dengan pembayaran di belakang), sehingga dengan demikian bai’
al-muajjal mencakup bai’ al-murabahah dan bai’ bi saman ajil. Hal ini karena
kedua jenis pembiayaan tersebut, menurut yang berlaku di Indonesia,
pembayarannya di belakang. Perbedaannya hanya pada secara sekaligus atau
mencicil. Jadi, bai’ bi saman ajil merupakan second derivation/pengembangan
dari murabahah. Hal ini tampak jelas dari unsur waktu pembayarannya.Akad bai’ al-murabahah juga mirip (tidak sama)
dengan akad Kredit Modal Kerja yang biasa diberikan oleh bank konvensional, dan
karenanya pembiayaan al-murabahah berjangka waktu di bawah satu tahun (short
run financing).Dasar hukum yang dijadikan sebagai landasan murabahah adalah
merujuk pada dasar hukum jual-beli :
” وأحل اللة البيع وحرم الربا”
Dalam hadis Rasulullah juga ditegaskan :
” ثلاث فيهن البركة: البيع إلى أجل والمقارضة وخلط البر بالشعير
للبيت لا للبيع “
Operasionalisasi produk ini di Indonesia didasarkan
atas fatwa DPS BMI No. BMI-16/FAT-DPS/XI/96 tentang pembiayaan murabahah,
tertanggal 27 Nopember 1996 M atau bertepatan 16 Rajab 1417 H. Fatwa ini
ditandatangani oleh DPS BMI, terdiri atas KH. Hasan Basri (ketua merangkap
anggota), KH. Ali Yafie (anggota), Drs. KH. Ahmad Azhar Basyir, MA. (anggota),
Prof. KH. Ibrahim Hossen (anggota) dan Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab
(anggota). Pertimbangan ekonomis yang dipakai adalah bahwa masyarakat pengusaha
banyak yang memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank berdasarkan pada
prinsip jual-beli untuk mendukung modal kerja yang diperlukan guna
melangsungkan dan meningkatkan produksi. Adapun pertimbangan legal-yuridisnya
adalah UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan dan PP No. 72 tahun 1992 tentang
bank bagi hasil.Secara teknis, akad bai’ al-murabahah tersebut terlaksana dengan
kedatangan nasabah ke bank syari’ah dan mengajukan permohonan Pembiayaan
al-Murabahah untuk pembelian suatu barang dan menyatakan kesanggupan untuk
membeli barang tersebut. Setelah melihat kelayakan nasabah untuk menerima
fasilitas pembiayaan tersebut, maka bank menyetujui permohonannya. Bank
kemudian membelikan atau menunjuk nasabah sebagai agen bank untuk membeli
barang yang diperlukannya atas nama bank dan menyelesaikan pembayaran harga
barang dari biaya bank. Bank seketika itu juga menjual barang tersebut kepada
nasabah pada tingkat harga yang disetujui bersama (yang terdiri dari harga
pembelian ditambah mark-up atau margin keuntungan) untuk dibayar dalam jangka
waktu yang telah disetujui bersama. Dan pada waktu jatuh tempo, nasabah
membayar harga jual barang yang telah disetujui tersebut kepada bank.
Adapun rukun
bai’ al-murabahah di dalam perbankan sama dengan rukun jual-beli dalam kitab
fiqih dan hanya dianalogkan dalam praktek perbankan, yaitu:
Penjual
(al-bai’) dianalogkan sebagai bank;
Pembeli
(al-musytari) dianalogkan sebagai nasabah;
Barang yang akan
diperjual belikan (al-mabi’), yaitu jenis barang pembiayaan;
Harga (al-saman)
dianalogkan sebagai pricing atau plafond pembiayaan;
Ijab dan qabul
dianalogkan sebagai akad atau perjanjian, yaitu pernyataan persetujuan yang
dituangkan dalam akad perjanjian.Sedangkan syarat-syaratnya disesuaikan dengan
kebijakan bank syari’ah yang bersangkutan, yang pada umumnya persyaratan
menyangkut barang yang diperjual-belikan, harga dan ijab-qabul.Bai’ al-murabahah
dapat dilakukan secara pemesanan dengan cara janji untuk melakukan pembelian
(al-wa’d bi al-bai’). Janji pemesan untuk membeli barang dalam bai’
al-murabahah bisa merupakan janji yang mengikat, bisa juga tidak. Para ulama
klasik bersepakat bahwa pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban
membeli barang yang telah dipesan itu disertai alasan secara rinci mengenai
pelarangan tersebut. Akan tetapi beberapa ulama kontemporer berpendapat bahwa
janji untuk membeli barang tersebut bisa mengikat pemesan. Hal ini demi
menghindari “kemadharatan”. Terlebih lagi bila nasabah bisa “pergi” begitu saja
akan sangat merugikan pihak bank atau penyedia barang.Dalam hal ini, pembeli
dibolehkan meminta pemesan membayar uang muka atau tanda jadi (arboun dalam
istilah beberapa bank Islam) saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
Uang muka adalah jumlah yang dibayar oleh pemesan yang menunjukkan bahwa ia
bersungguh-sungguh atas pesanannya tersebut. Adapun uang muka akan
diperhitungkan sesuai besar kerugian aktual pembeli. Bila kemudian pemesan
menolak untuk membeli aset tersebut, biaya riil pembeli harus dibayar dari uang
muka. Bila nilai uang muka tersebut lebih sedikit dari kerugian yang harus
ditanggung pembeli, pembeli dapat meminta kembali sisa kerugiannya pada
pemesan. Sedangkan bila uang muka melebihi kerugian, pembeli (penerima pesanan)
harus mengembalikan kelebihan itu kepada pemesanUntuk menjaga agar pemesan
tidak main-main dengan pesanan maka diperbolehkan meminta jaminan. Si pembeli
(penyedia pembiayaan/bank) dapat meminta pemesan (pemohon/nasabah) suatu
jaminan (rahn) untuk dipegangnya. Dalam teknis operasionalnya, barang-barang
yang dipesan dapat menjadi salah satu jaminan yang bisa diterima untuk
pembayaran hutang.Murabahah dengan pemesanan umumnya dapat diterapkan pada
produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi, baik domestik maupun
luar negeri, seperti melalui letter of credit (L/C). Skema ini paling banyak
digunakan karena sederhana dan tidak terlalu asing bagi yang sudah biasa bertransaksi
dengan dunia perbankan pada umumnya. Kalangan perbankan syari’ah di Indonesia
banyak menggunakan al-murabahah secara berkelanjutan (roll over/evergreen)
seperti untuk modal kerja. Padahal sebenarnya, al-murabahah adalah kontrak
jangka pendek dengan sekali akad (one short deal). Al-murabahah tidak tepat
diterapkan untuk skema modal kerja. Tetapi mudarabah lebih sesuai untuk skema
tersebut. Hal ini mengingat prinsip mudarabah memiliki fleksibilitas yang
sangat tinggi.Sesuai dengan sifat bisnis (tijarah), transaksi bai’ al-murabahah
memiliki beberapa manfaat, demikian juga resiko yang harus diantisipasi. Bai’
al-murabahah memberi banyak manfaat kepada bank syari’ah. Salah satunya adalah
adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga
jual kepada nasabah. Selain itu, sistem bai’ al-murabahah juga sangat
sederhana. Hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di bank syari’ah.
Di antara kemungkinan resiko yang harus diantisipasi antara lain adalah default
atau kelalaian, fluktuasi harga komparatif, penolakan nasabah, dijual nasabah.
2. Bai’
as-Salam
Adalah pembelian
barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di
muka.
Landasan
syari’ah transaksi bai’ al-salam adalah
1. “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”.
2. “Barangsiapa
yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas
dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui”.
3. Berkata Ibn
Mudhir bahwa semua pakar ilmu yang saya ketahui telah berkonsensus keabsahan
al-salam karena kebutuhan manusia terhadapnya.
Pelaksanaan bai’
al-salam harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini :
a) Muslam atau pembeli;
b) Muslam ilaih atau penjual;
c) Modal atau uang;
d) Muslam fih atau barang;
e) Sighat atau ucapan.
Di samping
segenap rukun harus terpenuhi, bai’ al-salam juga mengharuskan tercukupinya
segenap syarat pada masing-masing rukun. Dan yang terpenting adalah tentang
modal dan barang. Syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam modal bai’ al-salam
adalah barang yang akan disuplai harus diketahui jenis, kualitas dan jumlahnya
dan pembayaran harus dilakukan di tempat kontrak.Sedangkan di antara
syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam muslam fih atau barang yang
ditransaksikan adalah harus spesifik dan dapat diketahui sebagai utang, harus
bisa diidentifikasikan secara jelas, penyerahan dilakukan di kemudian hari,
tempat penyerahan barang harus disepakati, dan sebagainya.
Bai al-salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan
bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Juga
dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalnya produk garmen
(pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Bai’ al-salam
juga bisa terjadi secara pararel, yaitu melaksanakan dua transaksi antara bank
dan nasabah, dan antara bank dan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya
secara simultan.Manfaat bai’al-salam adalah selisih harga yang didapat dari
nasabah dengan harga jual kepada pembeli.
3. Bai’
al-Istishna’
Merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat
barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli.
Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli
barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli
akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran; apakah
pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu
waktu pada masa yang akan datang. Menurut jumhur fuqaha –Malikiah, Syi’ah dan
Hanbaliah–, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari akad bai’
al-salam. Biasanya, jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan
demikian, ketentuan bai’ al-istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’
al-salam.Secara umum, landasan syari’ah yang berlaku pada bai’ al-salam juga
berlaku pada bai’ al-istishna’. Sungguhpun demikian, para ulama membahas lebih
lanjut “keabsahan” bai’ al-istishna’. Menurut mazhab Hanafi, bai’ al-istishna’
termasuk akad yang dilarang karena bertentangan dengan semangat bai’ secara
qiyas. Mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus
ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok kontrak itu
belum ada atau tidak dimiliki penjual. Meskipun demikian, mazhab Hanafi
menyetujui kontrak istishna’ atas dasar
istihsan.Sebagian fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’
adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syari’ah karena itu memang
jual-beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat
penyerahan. Demikian juga kemungkinan terjadi perselisihan atas jenis dan
kualitas barang dapat diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan
ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang tersebut.Dalam sebuah
kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan
subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat
dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak
pertama. Kontrak baru ini dikenal sebagai istishna’ paralel.Bai’ al-istishna’
dapat diterapkan dalam (1) pengadaan barang dan (2) pembiayaan impor. Hal ini
hampir serupa dengan murabahah, hanya saja dalam istishna’, bank memesan suatu
barang tertentu dari produsen atas nama nasabah, manakala murabahah bank
membeli atas pesanan nasabah.Analisa Terhadap Perkembangan Perbankan Syari’ah
dan Aplikasi Produk-produk Berdasarkan Prinsip Jual-BeliPerbankan syari’ah yang
telah diperkenalkan kepada masyarakat sejak tahun 1992 hingga saat ini belum
menunjukkan pertumbuhan sebagaimana yang diharapkan. Perkembangan perbankan
syari’ah di Indonesia masih pada tahap awal. Hal ini ditunjukkan dengan
populasi yang masih kecil, yaitu satu bank umum syari’ah dan 77 bank
perkreditan rakyat syari’ah (BPRS) dibandingkan dengan populasi bank
konvensional sejumlah 208 bank umum dan 2.231 bank perkreditan rakyat (BPR).
Dari jumlah 77 BPRS tersebut, diperkirakan sekitar 30 % dalam kondisi baik,
selebihnya memerlukan perhatian dan penanganan yang serius untuk
kelangsungannya.Sedangkan bait al-mal wa al-tamwil (BMT) menunjukkan
pertumbuhan yang cukup baik, dari mulai hanya satu BMT di tahun 1992, kini BMT
telah mencapai jumlah 1.957 BMT yang tersebar di hampir seluruh propinsi di
Indonesia.Hadirnya bank syari’ah dewasa ini menunjukkan kecenderungan yang
semakin baik. Produk-produk yang dikeluarkan bank syari’ah cukup
bervariatif sehingga mampu memberikan
pilihan/alternatif bagi calon nasabah untuk memanfaatkannya. Berdasarkan survey
yang pernah dilakukan, kebanyakan bank syari’ah masih mengedepankan produk
dengan akad jual-beli, di antaranya
adalah murabahah dan bai’ bi saman ajil (murabahah investasi). Bahkan
produk murabahah merupakan produk yang paling banyak digunakan selama ini. Hal
ini, mungkin, karena pertimbangan resiko dan keuntungan yang akan diperoleh
bank syari’ah.Dengan murabahah, resiko yang mungkin dialami bank syari’ah
sangat kecil dan bank juga tidak tahu tentang untung dan rugi nasabah. Sedangkan
bila menggunakan produk mudarabah (sistem bagi hasil), maka resiko yang mungkin
dialami bank syari’ah sangat tinggi dan rentan terhadap kemungkinan bahaya
moral. Karena bank syari’ah berasumsi bahwa semua orang adalah jujur sehingga
bank rawan berhadapan dengan orang yang beri’tikad kurang baik. Di samping itu,
perhitungan-perhitungan dalam produk mudarabah (sistem bagi hasil) lebih rumit
bila dibandingkan perhitungan dalam bank konvensional, sehingga dibutuhkan
tenaga profesional yang betul-betul handal. Padahal, selama ini kebanyakan
tenaga profesional yang dimiliki bank syari’ah diambil dari bank konvensional
yang masih terkonstruk perhitungan dengan sistem bunga.Dalam dunia modern,
istilah bai’ al-murabahah sudah merupakan perluasan dari pengertiannya yang
klasik. Istilah murabahah digunakan untuk mengacu pada suatu kesepakatan yang
di dalamnya pembelian barang oleh bank dikehendaki konsumennya yang membutuhkan
barang tersebut dan kemudian menjual barang tersebut kepada konsumen dengan
harga yang disepakati dengan memberikan keuntungan tertentu kepada bank.
Pembayaran dilakukan oleh konsumen dalam kurun waktu yang ditentukan dengan
cara kredit/tunai. Perjanjian semacam ini oleh Sami Hamud disebut bai’
al-murabahah li al-amir bi al-syira’ (penjualan dengan keuntungan marginal yang
disepakati kepada seseorang yang memesan barang tersebut). Belakangan ini lebih
dikenal dengan sebutan murabahah.Dalam praktek/realisasi produk bai’
al-murabahah –pembayaran tempo dengan sekaligus/langsung lunas– di lapangan/perbankan
syari’ah tidak ada. Yang ada adalah murabahah yang pembayarannya dilakukan
secara kredit/cicilan (murabahah yang bai’ bi saman ajil). Atau, murabahah yang
dimodifikasi dalam istilah Sami Hamud. Jadi, dalam prakteknya, murabahah
disamakan dengan bai’ bi saman ajil yang notabenenya kurang banyak diminati. Di
samping itu, dalam prakteknya, tenaga pelaksana di lapangan biasanya enggan
menerangkan seluk-beluk dan landasan fiqh murabahah atau bisa jadi menganggap
calon nasabah telah paham. Karena itu, murabahah disimplikasi dalam satu
rangkaian kalimat pendek, “margin kami 20 % per tahun”. Dan dalam prakteknya,
sistem perhitungan dalam penetapan jasa bank masih mengacu dan disesuaikan
dengan standar bunga pada bank konvensional dan belum memiliki standard
perhitungan baku yang otonom dan mandiri. Tentu saja banyak masyarakat yang
mengira bank syari’ah sekedar mengganti istilah bunga dengan margin. Atau
dengan kata lain, siasat bunga bank yang dibungkus dengan prinsip-prinsip
syari’ah.Sedangkan untuk meminimalisir –bahkan menghilangkan– kesenjangan
antara konsep dan praktek dalam realitas, khususnya dalam produk murabahah,
maka perbankan syari’ah harus benar-benar istiqamah dalammenerapkan/merealisasikan
produk-produk yang ditawarkan kepada para nasabah sesuai dengan konsep-konsep
yang ada. Di samping itu sosialisasi produk-produk yang ada lebih ditingkatkan,
misalnya dengan promosi. Dalam hal ini, peran ulama dan cendekiawan muslim juga
sangat diperlukan dalam memberikan wawasan dan pemahaman tentang produk-produk
tersebut kepada masyarakat luas yang masih awam tentang operasionalisasi dan
mekanisme perbankan syari’ah.Dan yang tidak kalah penting, perbankan syari’ah
harus memiliki standar sistem perhitungan dalam penetapan jasa bank tanpa harus
bergantung pada standar dalam perhitungan bunga.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Produk-produk
bank syariah adalah funding yang terdiri dari akad wadiah dan mudhorobah.
Financing terdiri dari pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi, dan
pembiayaan konsmtif. Produk jasa terdiri dari Wakalah, Kafalah, dan Hawalah. Pada dasarnya prinsip dasar pada
produk-produk perbankan syariah adalah terbagi kedalam prinsip simpanan yang
biasa disebut dengan prinsip wadiah, prinsip bagi hasil (profit sharing) yang
terbagi atas prinsip mudharabah dan murabahah. Dan prinsip murabahah. Produk
perbankan syariah secara garis besar terdiri atas produk penghimpun dana,
produk penyaluran dana dan jasa perbankan.
Setidaknya
ada tiga karakteristik produk perbankan syariah yang membedakanya dengan produk
bank konvensional. Petama, adalah akadnya. Semua transaksi dalam perbankan
syariah harus dilandasi dengan akad. Kedua, adalah pada imbalan yang
diberiakan. Pada perbankan syariah menggunakan prinsip bagi hasil bukan bunga.
Karakeristik ketiga adalah pada sasara kredit atau pembiayaan. Pada perbankan
syariah pembiayaan harus pada kegiatan yang sesuai dengan syariat islam.
DAFTAR PUSTAKA
Heri Sudarsono, 2005, Bank dan Lembaga Keuangan
Syariah (Deskriptip dan Ilustratip), Yogyakarta, Penerbit Ekonisia
http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah
http://suherilbs.files.wordpress.com/2007/12/dampak-pengembangan-sukuk-terhadap-perkembangan-perbankan-syariah-di-indonesia.doc
http://Blogdetik.com/produk-syariah/sannicommunity/March
28, 2008
http://hukumonline.com//Perbankan&keuangan-bank-syariah,
oleh mahawisnu alam/ 22 april 2008
http://sinarharapan.com//prinsip-dasar-perbankan-syariah
Post title : perbankan syariah dan produk-produknya
URL post : http://didiklaw.blogspot.com/2014/05/perbankan-syariah-dan-produk-produknya_28.html
URL post : http://didiklaw.blogspot.com/2014/05/perbankan-syariah-dan-produk-produknya_28.html
0 komentar:
Show Emoticons
Posting Komentar