Rabu, 28 Mei 2014

perbankan syariah dan produk-produknya

Meat Ball Shop-
MAKALAH
PERBANKAN SYARIAH
 DAN PRODUK-PRODUKNYA


 








DI BUAT GUNA MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI ISLAM

Dosen Pengampu:


FAKULTAS HUKUM


KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan kepada kita. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasullullah Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan umatnya,  Amin.
            Alhamdulillah Penulis dapat menyelesaikan tugas dari dosen pengampu mata kuliah Etika dan Tanggung Jawab Profesi. dengan judul “Perbankan Syariah dan Produk-Produknya ”.
            Makalah ini disusun berdasarkan apa yang Penulis dapat dari dosen pengampu mata kuliah  Hukum Ekonomi Islam dan sumber–sumber  literatur lain yang relevan. Namun demikian Penulis menyadari jika adanya kekurangan–kekurangan di dalam makalah ini dan oleh karena kekurangan itu untuk dapat terlengkapi melalui diskusi serta bimbingan dan arahan dari dosen pengampu.
            Cukup sekian yang dapat Penulis ungkapkan dalam kata pengantar ini, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca.
            Demikian dan terima kasih.


                                                                                    Pekalongan, 25 Mei 2014


                                                                                                           

                                                                                           Didik Wahyudi
                                                                                                




DAFTAR ISI

Halaman  Judul                                                                                     i
Kata Pengantar                                                                         ii
Daftar  Isi                                                                                             iii

BAB I             : PENDAHULUAN                                                   
1. Latar Belakang                                                                           1
2. Perumusan Masalah                                                                    3
3.      Tujuan                                                                                      3
4.      Manfaat                                                                                    4

BAB II            : PEMBAHASAN
  1.  Maksud Perbankan Syariah                                                     5
  2. Produk Perbankan Syariah                                                       6


BAB III           : PENUTUP
A. Simpulan                                                                                 13
B. Saran                                                                                         13                                                                                     

Daftar Pustaka                                                                                   14


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
              Landasan syari’ah perbankan syari’ah adalah ketentuan-ketentuan hukum mu’amalat, khususnya menyangkut hukum perjanjian (akad). Ada sejumlah akad yang dijadikan landasan bagi operasionalisasi perbankan syari’ah, seperti jual-beli (al-bai’) dengan berbagai jenisnya, sewa-menyewa (al-ijarah), perkonsian (al-musyarakah), bagi hasil (al-mudarabah), gadai (al-rahn), hutang-piutang (al-qard), pemindahan hutang (al-hiwalah), penanggungan hutang (al-kafalah), dan pemberian kuasa (perwakilan, al-wakalah).
Bentuk-bentuk akad jual-beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih mu’amalah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan jika tidak puluhan. Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual-beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syari’ah, yaitu bai’ al-murabahah, bai’ al-salam, dan bai’ al-istisna. Dan secara khusus, produk yang dihasilkan dari sistem jual-beli dan margin keuntungan adalah bai’ al-murabahah dan al-bai’ bi saman ajil.
B.     Perumusan Masalah
1.      Apa Yang di Maksud dengan Perbankan Syariah?
2.      Apa saja produk-produk dari perbankan syariah?

C.     Tujuan Pembahasan
1.      Agar Mengetahui Maksud dari Perbankan Syariah.
2.      Untuk Memberi Tahu Produk dari Perbankan Syariah.


BAB II
PEMBAHASAN
\
A.     Perbankan Syariah
Pengertian bank menurut UU No 7 tahun 1992 adalah badan usaha yang menghimpun dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Istilah Bank dalam literatur Islam tidak dikenal. Suatu lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat, dalam literature islam dikenal dengan istilah baitul mal atau baitul tamwil. Istilah lain yang digunakan untuk sebutan Bank Islam adalah Bank Syari'ah. Secara akademik istilah Islam dan syariah berbeda, namun secara teknis untuk penyebutan bank Islam dan Bank Syari'ah mempunyai pengertian yang sama.
Dalam RUU No 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa Bank Umum merupakan bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syari'ah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu litas pembayaran. Lebih lanjut dijelaskan bahwa prinsip syari'ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk menyimpannya, pembiayaan atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari'ah. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, Bank Syari'ah berarti bank yang tata cara operasionalnya didasari dengan tatacara Islam yang mengacu kepada ketentuan alquran dan al hadist.
Istilah bank Islam atau bank syari’ah merupakan fenomena baru dalam dunia ekonomi modern, kemunculannya seiring dengan upaya gencar yang dilakukan oleh para pakar Islam dalam mendukung ekonomi Islam yang diyakini akan mampu mengganti dan memperbaiki sistem ekonomi konvensional yang berbasis pada bunga. Karena itulah sistem bank Islam menerapkan sistem bebas bunga (interest free) dalam opersionalnya, dan karena itu rumusan yang paling lazim untuk mendefinisikan bank Islam adalah “bank yang beroperasi sesuai prinsip-prinsip syari’ah Islam dengan mengacu kepada al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai landasan dasar hukum dan operasional”. Definisi bank Islam dengan melihat fungsinya sebagai suatu lembaga atau badan keuangan adalah : “lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberi kredit dan jasa-jasa dalam lalu-lintas pembayaran serta peredaran uang yang sistem operasionalnya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam”.
Berkembangnya bank-bank syari’ah di negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syari’ah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, A. M. Saefuddin, M. Amien Aziz, dan lain-lain. Beberapa uji coba pada skala yang reelatif terbatas telah diwujudkan. Di antaranya adalah Bait al-Tamwil Salman, Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.Akan tetapi, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut di atas. Akte Pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 Nopember 1991. Pada saat penandatanganan akte pendirian ini, terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp. 84 miliar. Pada tanggal 3 Nopember 1991, dalam acara silaturrahim Presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal sebesar Rp. 106.126.382.000,00. Dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, BMI mulai beroperasi.

B.     Produk Perbankan Syariah
1. Bai’ al-Murabahah dan Bai’ bi Saman Ajil
Terdapat beberapa istilah yang kadang-kadang dicampurbaurkan satu sama lain atau bahkan dikacaukan pemakaiannya dan bukan hanya sekedar sinonim, yaitu bai’ al-muajjal, bai’ al-murabahah dan bai’ bi saman ajil. Di Indonesia digunakan istilah bai’ al-murabahah dan bai’ bi saman ajil. Kedua istilah ini dibedakan di mana yang pertama dimaksudkan pembiayaan dalam bentuk jual-beli berdasarkan harga pokok ditambah margin keuntungan dengan pembayaran dibelakang sekaligus. Sedangkan yang kedua dimaksudkan pembiayaan dalam bentuk jual-beli berdasarkan harga pokok ditambah margin keuntungan dengan pembayaran di belakang juga, tetapi secara mencicil dan tidak sekaligus.Kedua macam transaksi tersebut disebut dengan nama bai’ al-muajjal (jual beli dengan pembayaran di belakang), sehingga dengan demikian bai’ al-muajjal mencakup bai’ al-murabahah dan bai’ bi saman ajil. Hal ini karena kedua jenis pembiayaan tersebut, menurut yang berlaku di Indonesia, pembayarannya di belakang. Perbedaannya hanya pada secara sekaligus atau mencicil. Jadi, bai’ bi saman ajil merupakan second derivation/pengembangan dari murabahah. Hal ini tampak jelas dari unsur waktu pembayarannya.Akad  bai’ al-murabahah juga mirip (tidak sama) dengan akad Kredit Modal Kerja yang biasa diberikan oleh bank konvensional, dan karenanya pembiayaan al-murabahah berjangka waktu di bawah satu tahun (short run financing).Dasar hukum yang dijadikan sebagai landasan murabahah adalah merujuk pada dasar hukum jual-beli :
” وأحل اللة البيع وحرم الربا
Dalam hadis Rasulullah juga ditegaskan :
ثلاث فيهن البركة: البيع إلى أجل والمقارضة وخلط البر بالشعير للبيت لا للبيع “
Operasionalisasi produk ini di Indonesia didasarkan atas fatwa DPS BMI No. BMI-16/FAT-DPS/XI/96 tentang pembiayaan murabahah, tertanggal 27 Nopember 1996 M atau bertepatan 16 Rajab 1417 H. Fatwa ini ditandatangani oleh DPS BMI, terdiri atas KH. Hasan Basri (ketua merangkap anggota), KH. Ali Yafie (anggota), Drs. KH. Ahmad Azhar Basyir, MA. (anggota), Prof. KH. Ibrahim Hossen (anggota) dan Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab (anggota). Pertimbangan ekonomis yang dipakai adalah bahwa masyarakat pengusaha banyak yang memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank berdasarkan pada prinsip jual-beli untuk mendukung modal kerja yang diperlukan guna melangsungkan dan meningkatkan produksi. Adapun pertimbangan legal-yuridisnya adalah UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan dan PP No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi hasil.Secara teknis, akad bai’ al-murabahah tersebut terlaksana dengan kedatangan nasabah ke bank syari’ah dan mengajukan permohonan Pembiayaan al-Murabahah untuk pembelian suatu barang dan menyatakan kesanggupan untuk membeli barang tersebut. Setelah melihat kelayakan nasabah untuk menerima fasilitas pembiayaan tersebut, maka bank menyetujui permohonannya. Bank kemudian membelikan atau menunjuk nasabah sebagai agen bank untuk membeli barang yang diperlukannya atas nama bank dan menyelesaikan pembayaran harga barang dari biaya bank. Bank seketika itu juga menjual barang tersebut kepada nasabah pada tingkat harga yang disetujui bersama (yang terdiri dari harga pembelian ditambah mark-up atau margin keuntungan) untuk dibayar dalam jangka waktu yang telah disetujui bersama. Dan pada waktu jatuh tempo, nasabah membayar harga jual barang yang telah disetujui tersebut kepada bank.
Adapun rukun bai’ al-murabahah di dalam perbankan sama dengan rukun jual-beli dalam kitab fiqih dan hanya dianalogkan dalam praktek perbankan, yaitu:
Penjual (al-bai’) dianalogkan sebagai bank;
Pembeli (al-musytari) dianalogkan sebagai nasabah;
Barang yang akan diperjual belikan (al-mabi’), yaitu jenis barang pembiayaan;
Harga (al-saman) dianalogkan sebagai pricing atau plafond pembiayaan;
Ijab dan qabul dianalogkan sebagai akad atau perjanjian, yaitu pernyataan persetujuan yang dituangkan dalam akad perjanjian.Sedangkan syarat-syaratnya disesuaikan dengan kebijakan bank syari’ah yang bersangkutan, yang pada umumnya persyaratan menyangkut barang yang diperjual-belikan, harga dan ijab-qabul.Bai’ al-murabahah dapat dilakukan secara pemesanan dengan cara janji untuk melakukan pembelian (al-wa’d bi al-bai’). Janji pemesan untuk membeli barang dalam bai’ al-murabahah bisa merupakan janji yang mengikat, bisa juga tidak. Para ulama klasik bersepakat bahwa pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah dipesan itu disertai alasan secara rinci mengenai pelarangan tersebut. Akan tetapi beberapa ulama kontemporer berpendapat bahwa janji untuk membeli barang tersebut bisa mengikat pemesan. Hal ini demi menghindari “kemadharatan”. Terlebih lagi bila nasabah bisa “pergi” begitu saja akan sangat merugikan pihak bank atau penyedia barang.Dalam hal ini, pembeli dibolehkan meminta pemesan membayar uang muka atau tanda jadi (arboun dalam istilah beberapa bank Islam) saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. Uang muka adalah jumlah yang dibayar oleh pemesan yang menunjukkan bahwa ia bersungguh-sungguh atas pesanannya tersebut. Adapun uang muka akan diperhitungkan sesuai besar kerugian aktual pembeli. Bila kemudian pemesan menolak untuk membeli aset tersebut, biaya riil pembeli harus dibayar dari uang muka. Bila nilai uang muka tersebut lebih sedikit dari kerugian yang harus ditanggung pembeli, pembeli dapat meminta kembali sisa kerugiannya pada pemesan. Sedangkan bila uang muka melebihi kerugian, pembeli (penerima pesanan) harus mengembalikan kelebihan itu kepada pemesanUntuk menjaga agar pemesan tidak main-main dengan pesanan maka diperbolehkan meminta jaminan. Si pembeli (penyedia pembiayaan/bank) dapat meminta pemesan (pemohon/nasabah) suatu jaminan (rahn) untuk dipegangnya. Dalam teknis operasionalnya, barang-barang yang dipesan dapat menjadi salah satu jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran hutang.Murabahah dengan pemesanan umumnya dapat diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi, baik domestik maupun luar negeri, seperti melalui letter of credit (L/C). Skema ini paling banyak digunakan karena sederhana dan tidak terlalu asing bagi yang sudah biasa bertransaksi dengan dunia perbankan pada umumnya. Kalangan perbankan syari’ah di Indonesia banyak menggunakan al-murabahah secara berkelanjutan (roll over/evergreen) seperti untuk modal kerja. Padahal sebenarnya, al-murabahah adalah kontrak jangka pendek dengan sekali akad (one short deal). Al-murabahah tidak tepat diterapkan untuk skema modal kerja. Tetapi mudarabah lebih sesuai untuk skema tersebut. Hal ini mengingat prinsip mudarabah memiliki fleksibilitas yang sangat tinggi.Sesuai dengan sifat bisnis (tijarah), transaksi bai’ al-murabahah memiliki beberapa manfaat, demikian juga resiko yang harus diantisipasi. Bai’ al-murabahah memberi banyak manfaat kepada bank syari’ah. Salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu, sistem bai’ al-murabahah juga sangat sederhana. Hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di bank syari’ah. Di antara kemungkinan resiko yang harus diantisipasi antara lain adalah default atau kelalaian, fluktuasi harga komparatif, penolakan nasabah, dijual nasabah.
2. Bai’ as-Salam
Adalah pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka.
Landasan syari’ah transaksi bai’ al-salam adalah
1. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”.
2. “Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui”.
3. Berkata Ibn Mudhir bahwa semua pakar ilmu yang saya ketahui telah berkonsensus keabsahan al-salam karena kebutuhan manusia terhadapnya.
Pelaksanaan bai’ al-salam harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini :
a)      Muslam atau pembeli;
b)      Muslam ilaih atau penjual;
c)      Modal atau uang;
d)      Muslam fih atau barang;
e)      Sighat atau ucapan.
Di samping segenap rukun harus terpenuhi, bai’ al-salam juga mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Dan yang terpenting adalah tentang modal dan barang. Syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam modal bai’ al-salam adalah barang yang akan disuplai harus diketahui jenis, kualitas dan jumlahnya dan pembayaran harus dilakukan di tempat kontrak.Sedangkan di antara syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam muslam fih atau barang yang ditransaksikan adalah harus spesifik dan dapat diketahui sebagai utang, harus bisa diidentifikasikan secara jelas, penyerahan dilakukan di kemudian hari, tempat penyerahan barang harus disepakati, dan sebagainya.
Bai al-salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Bai’ al-salam juga bisa terjadi secara pararel, yaitu melaksanakan dua transaksi antara bank dan nasabah, dan antara bank dan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan.Manfaat bai’al-salam adalah selisih harga yang didapat dari nasabah dengan harga jual kepada pembeli.
3. Bai’ al-Istishna’               
Merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran; apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang. Menurut jumhur fuqaha –Malikiah, Syi’ah dan Hanbaliah–, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari akad bai’ al-salam. Biasanya, jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan bai’ al-istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ al-salam.Secara umum, landasan syari’ah yang berlaku pada bai’ al-salam juga berlaku pada bai’ al-istishna’. Sungguhpun demikian, para ulama membahas lebih lanjut “keabsahan” bai’ al-istishna’. Menurut mazhab Hanafi, bai’ al-istishna’ termasuk akad yang dilarang karena bertentangan dengan semangat bai’ secara qiyas. Mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Meskipun demikian, mazhab Hanafi menyetujui kontrak istishna’ atas dasar  istihsan.Sebagian fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syari’ah karena itu memang jual-beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga kemungkinan terjadi perselisihan atas jenis dan kualitas barang dapat diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang tersebut.Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak baru ini dikenal sebagai istishna’ paralel.Bai’ al-istishna’ dapat diterapkan dalam (1) pengadaan barang dan (2) pembiayaan impor. Hal ini hampir serupa dengan murabahah, hanya saja dalam istishna’, bank memesan suatu barang tertentu dari produsen atas nama nasabah, manakala murabahah bank membeli atas pesanan nasabah.Analisa Terhadap Perkembangan Perbankan Syari’ah dan Aplikasi Produk-produk Berdasarkan Prinsip Jual-BeliPerbankan syari’ah yang telah diperkenalkan kepada masyarakat sejak tahun 1992 hingga saat ini belum menunjukkan pertumbuhan sebagaimana yang diharapkan. Perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia masih pada tahap awal. Hal ini ditunjukkan dengan populasi yang masih kecil, yaitu satu bank umum syari’ah dan 77 bank perkreditan rakyat syari’ah (BPRS) dibandingkan dengan populasi bank konvensional sejumlah 208 bank umum dan 2.231 bank perkreditan rakyat (BPR). Dari jumlah 77 BPRS tersebut, diperkirakan sekitar 30 % dalam kondisi baik, selebihnya memerlukan perhatian dan penanganan yang serius untuk kelangsungannya.Sedangkan bait al-mal wa al-tamwil (BMT) menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik, dari mulai hanya satu BMT di tahun 1992, kini BMT telah mencapai jumlah 1.957 BMT yang tersebar di hampir seluruh propinsi di Indonesia.Hadirnya bank syari’ah dewasa ini menunjukkan kecenderungan yang semakin baik. Produk-produk yang dikeluarkan bank syari’ah cukup bervariatif  sehingga mampu memberikan pilihan/alternatif bagi calon nasabah untuk memanfaatkannya. Berdasarkan survey yang pernah dilakukan, kebanyakan bank syari’ah masih mengedepankan produk dengan akad jual-beli, di antaranya  adalah murabahah dan bai’ bi saman ajil (murabahah investasi). Bahkan produk murabahah merupakan produk yang paling banyak digunakan selama ini. Hal ini, mungkin, karena pertimbangan resiko dan keuntungan yang akan diperoleh bank syari’ah.Dengan murabahah, resiko yang mungkin dialami bank syari’ah sangat kecil dan bank juga tidak tahu tentang untung dan rugi nasabah. Sedangkan bila menggunakan produk mudarabah (sistem bagi hasil), maka resiko yang mungkin dialami bank syari’ah sangat tinggi dan rentan terhadap kemungkinan bahaya moral. Karena bank syari’ah berasumsi bahwa semua orang adalah jujur sehingga bank rawan berhadapan dengan orang yang beri’tikad kurang baik. Di samping itu, perhitungan-perhitungan dalam produk mudarabah (sistem bagi hasil) lebih rumit bila dibandingkan perhitungan dalam bank konvensional, sehingga dibutuhkan tenaga profesional yang betul-betul handal. Padahal, selama ini kebanyakan tenaga profesional yang dimiliki bank syari’ah diambil dari bank konvensional yang masih terkonstruk perhitungan dengan sistem bunga.Dalam dunia modern, istilah bai’ al-murabahah sudah merupakan perluasan dari pengertiannya yang klasik. Istilah murabahah digunakan untuk mengacu pada suatu kesepakatan yang di dalamnya pembelian barang oleh bank dikehendaki konsumennya yang membutuhkan barang tersebut dan kemudian menjual barang tersebut kepada konsumen dengan harga yang disepakati dengan memberikan keuntungan tertentu kepada bank. Pembayaran dilakukan oleh konsumen dalam kurun waktu yang ditentukan dengan cara kredit/tunai. Perjanjian semacam ini oleh Sami Hamud disebut bai’ al-murabahah li al-amir bi al-syira’ (penjualan dengan keuntungan marginal yang disepakati kepada seseorang yang memesan barang tersebut). Belakangan ini lebih dikenal dengan sebutan murabahah.Dalam praktek/realisasi produk bai’ al-murabahah –pembayaran tempo dengan sekaligus/langsung lunas– di lapangan/perbankan syari’ah tidak ada. Yang ada adalah murabahah yang pembayarannya dilakukan secara kredit/cicilan (murabahah yang bai’ bi saman ajil). Atau, murabahah yang dimodifikasi dalam istilah Sami Hamud. Jadi, dalam prakteknya, murabahah disamakan dengan bai’ bi saman ajil yang notabenenya kurang banyak diminati. Di samping itu, dalam prakteknya, tenaga pelaksana di lapangan biasanya enggan menerangkan seluk-beluk dan landasan fiqh murabahah atau bisa jadi menganggap calon nasabah telah paham. Karena itu, murabahah disimplikasi dalam satu rangkaian kalimat pendek, “margin kami 20 % per tahun”. Dan dalam prakteknya, sistem perhitungan dalam penetapan jasa bank masih mengacu dan disesuaikan dengan standar bunga pada bank konvensional dan belum memiliki standard perhitungan baku yang otonom dan mandiri. Tentu saja banyak masyarakat yang mengira bank syari’ah sekedar mengganti istilah bunga dengan margin. Atau dengan kata lain, siasat bunga bank yang dibungkus dengan prinsip-prinsip syari’ah.Sedangkan untuk meminimalisir –bahkan menghilangkan– kesenjangan antara konsep dan praktek dalam realitas, khususnya dalam produk murabahah, maka perbankan syari’ah harus benar-benar istiqamah dalammenerapkan/merealisasikan produk-produk yang ditawarkan kepada para nasabah sesuai dengan konsep-konsep yang ada. Di samping itu sosialisasi produk-produk yang ada lebih ditingkatkan, misalnya dengan promosi. Dalam hal ini, peran ulama dan cendekiawan muslim juga sangat diperlukan dalam memberikan wawasan dan pemahaman tentang produk-produk tersebut kepada masyarakat luas yang masih awam tentang operasionalisasi dan mekanisme perbankan syari’ah.Dan yang tidak kalah penting, perbankan syari’ah harus memiliki standar sistem perhitungan dalam penetapan jasa bank tanpa harus bergantung pada standar dalam perhitungan bunga.




BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
          Produk-produk bank syariah adalah funding yang terdiri dari akad wadiah dan mudhorobah. Financing terdiri dari pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi, dan pembiayaan konsmtif. Produk jasa terdiri dari Wakalah, Kafalah, dan Hawalah.          Pada dasarnya prinsip dasar pada produk-produk perbankan syariah adalah terbagi kedalam prinsip simpanan yang biasa disebut dengan prinsip wadiah, prinsip bagi hasil (profit sharing) yang terbagi atas prinsip mudharabah dan murabahah. Dan prinsip murabahah. Produk perbankan syariah secara garis besar terdiri atas produk penghimpun dana, produk penyaluran dana dan jasa perbankan.
            Setidaknya ada tiga karakteristik produk perbankan syariah yang membedakanya dengan produk bank konvensional. Petama, adalah akadnya. Semua transaksi dalam perbankan syariah harus dilandasi dengan akad. Kedua, adalah pada imbalan yang diberiakan. Pada perbankan syariah menggunakan prinsip bagi hasil bukan bunga. Karakeristik ketiga adalah pada sasara kredit atau pembiayaan. Pada perbankan syariah pembiayaan harus pada kegiatan yang sesuai dengan syariat islam.
                                                  


DAFTAR PUSTAKA
Heri Sudarsono, 2005, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Deskriptip dan Ilustratip), Yogyakarta, Penerbit Ekonisia
http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah
http://suherilbs.files.wordpress.com/2007/12/dampak-pengembangan-sukuk-terhadap-perkembangan-perbankan-syariah-di-indonesia.doc
http://Blogdetik.com/produk-syariah/sannicommunity/March 28, 2008
http://hukumonline.com//Perbankan&keuangan-bank-syariah, oleh mahawisnu alam/ 22 april 2008
http://sinarharapan.com//prinsip-dasar-perbankan-syariah










Post title : perbankan syariah dan produk-produknya
URL post : http://didiklaw.blogspot.com/2014/05/perbankan-syariah-dan-produk-produknya_28.html

0 komentar:

Show Emoticons

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n: :o: :q: :s:

Posting Komentar