KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah memberikan kesehatan kepada kita. Sholawat serta salam semoga
senantiasa tercurah kepada Baginda Rasullullah Muhammad SAW beserta keluarga,
para sahabat dan umatnya, Amin.
Alhamdulillah Penulis dapat menyelesaikan tugas dari dosen
pengampu mata kuliah Hukum Perbankan.
dengan judul “Perlindungan Terhadap
Nasabah Konsumen Kartu Kredit”.
Makalah ini disusun berdasarkan apa yang Penulis dapat
dari dosen pengampu mata kuliah hokum
perbankan dan sumber–sumber literatur lain yang relevan. Namun demikian
Penulis menyadari jika adanya kekurangan–kekurangan di dalam makalah ini dan
oleh karena kekurangan itu untuk dapat terlengkapi melalui diskusi serta
bimbingan dan arahan dari dosen pengampu.
Cukup sekian yang dapat Penulis ungkapkan dalam kata
pengantar ini, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Demikian dan terima kasih.
Pekalongan,
6 April 2014
no
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I : PENDAHULUAN
1. Latar Belakang 1
2. Perumusan Masalah 3
3. Tujuan 3
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Kartu Kredit 8
B. Cara Penerbitan Kartu Kredit 11
C. Dasar hokum Perlindungan Konsumen Kartu Kredit 14
BAB
III : PENUTUP
A.
Simpulan
16
Daftar Pustaka 17
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
semakin pesatnya temuan system perbankan,
membuat kegiatan transaksi keuangan mengarah pada penggunaan uang sebagai suatu
komoditi yang tidak berbentuk secara konkret (intangible money). Penggunaan
uang tidak tunai dalam transaksi ekonomi sudah dikenal secara terbatas pada
abad ke-18, saat dimulainya evolusi sistem perbankan, proses giralisasi dan
lain sebagainya.
Bank
selalu dituntut untuk bersikap profesional agar dapat berfungsi secara efisien.
sehat serta menghadapi persaingan global. Dalam era globalisasi perkembangan
ilmu dan teknologi maju dengan pesatnya. Hal ini juga terjadi di dalam sistem
perbankan, dimana perbankan diharuskan untuk meyesuaikan diri dengan
perkembangan teknologi tersebut untuk melayani nasabahnya dengan baik.
Kartu
kredit adalah salah satu bentuk transaksi modern yang tidak berbentuk uang
tunai[1].
Walaupun eksistensi kartu kredit tidak dimaksudkan untuk menghapus secara total
system pembayaran dengan menggunakan uang cash atau cek, tetapi terutama untuk
kegiatan pembayaran yang day to day dengan jumlah pembayaran tingkat menengah,
maka keberadaan kartu kredit sesungguhnya dapat menggeser peranan uang cash
ataupun cek. Untuk pembayaran yang bukan tingkat menengah, memang penggunaan
kartu kredit masih belum populer. Karena, untuk transaksi kecil, orang
cenderung menggunakan uang cash, sementara untuk transaksi yang besar,
pilihannya jatuh pada alat bayar cek ataupun surat-surat berharga lainnya.
Kartu
kredit merupakan suatu alat berbentuk kartu yang diterbitkan oleh bank dan
dapat digunakan untuk berbagai macam teransaksi keuangan. Kartu kredit
diberikan kepada pemegang untuk dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran di
berbagai tempat yang telah mengadakan kerjasama dengan penerbit dari kartu
tersebut. Kartu kredit, di samping berfungsi sebagai alat pembayaran dapat pula
berfungsi sebagai alat ligitimasi bagi seseorang yang namanya tercantum di
dalam kartu yang bersangkutan hingga orang dengan identitas tersebutlah yang
berhak menggunakan fasilitas yang diberikan oleh kartu kredit yang
bersangkutan.
Kebutuhan
masyarakat terhadap penggunaan kartu kredit dalam memenuhi kegiatan ekonomi
menunjukkan perkembangan yang sangat pesat dari tahun ke tahun. Sejalan dengan
meningkatnya penggunaan kartu kredit sebagai alat pembayaran, tingkat keamanan
teknologi, baik keamanan kartu maupun keamanan sistem yang digunakan untuk
memproses transaksi alat pembayaran dengan menggunakan kartu kredit, perlu
ditingkatkan agar penggunaan kartu sebagai alat pembayaran dapat senantiasa
berjalan dengan aman dan lancar.
B.
Perumusan Masalah
- Apa yang dimaksud dengan kartu
kredit?
- Bagaimana Penerbitan Kartu
Kredit?
- Bagaimana Perlindungan Terhadap
Konsumen Kartu Kredit?
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Kartu Kredit
Perkataan
“kredit” telah lazim digunakan pada praktik Perbankan dalam pemberian berbagai
fasilitas yang berkaitan dengan pinjaman. Kata yang sama dijumpai pula dalam
penerbitan kartu yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan, baik Bank atau Lembaga
Keuangan Bukan Bank (LKBB), secara mandiri ataupun bekerjasama.
Kata “kredit”
berasal dari bahasa Romawi “credere” yang berarti percaya atau “credo” atau
“creditum” yang berarti saya percaya.[2]
Black’s Law
Dictionary memberi pengertian bahwa kredit adalah, yang Artinya: “Kemampuan
seoang pelaku usaha untuk meminjamkan uang, atau memperoleh barang-barang
secara tepat waktu, sebagai akibat dari argumentasi yang tepat dari pemberi
pinjaman, seperti halnya keandalan dan kemampuan membayarnya.
Pengertian Kartu Kredit.
Menurut
Dictionary of economic kartu kredit adalah Terjemahannya “Kartu plastik atau
sejenis kartu pembiayaan yang digunakan pembeliaan produk secara kredit. Kartu
kredit dikeluarkan oleh bank komersial, jaringan hotel dan pedagang”.
Menurut
A. F. Elly Erawaty dan J. S. Badudu kartu kredit adalah “Kartu yang dikeluarkan
oleh bank atau lembaga lain yang diterbitkan dengan tujuan untuk mendapatkan
uang, barang atau jasa secara kredit “.
Dari
definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa kartu kredit atau credit card adalah
uang plastik yang diterbitkan oleh suatu institusi yang memungkinkan pemegang
kartu untuk memperoleh kredit atas transaksi yang dilakukannya dan
pembayarannya dapat dilakukan secara angsuran dengan membayar sejumlah bunga (
finance charge ) atau sekaligus pada waktu yang telah ditentukan. Nasabah hanya
akan dikenai iuran tahunan yang besarnya ditetapkan oleh pihak bank.
- Penerapan Unsur-Unsur Kredit dalam Penerbitan
Kartu Kredit
Setelah membahas
pengertian kredit dan juga kartu kredit, pertanyaan yang timbul apakah kartu
kredit merupakan bagian dari kredit dan sejauh mana unsur-unsur kredit terdapat
dalam kartu kredit.
Kredit terdiri
atas 4 unsur, dimana masing-masing unsur dapat diterapkan dalam prosedur
penerbitan kartu kredit, sebagai berikut:[3]
1) Kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari
pihak bank atas prestasi yang diberikannya kepada debitur yang akan dilunasinya
sesuai jangka waktu yang diperjanjikan. Merupakan hal yang prinsip dalam
penerbitan kartu kredit. Bank dalam menilai kelayakan dari pemohon
mempertimbangkan berdasarkan kelengkapan data yang diserahkan oleh pemohon
bersama dengan aplikasi atau formulir yang telah di-tandatangani-nya.
2) Waktu, yaitu adanya jangka waktu tertentu
antara pemberian kredit dan pelunasannya dan jangka waktu tersebut sebelumnya
terlebih dahulu telah disepakati bersama antara pihak bank dan debitur.
Penerbitan kartu kredit baik untuk pemegang kartu utama maupun kartu tambahan
dalam tenggang waktu yang diperjanjikan, umumnya 12 (dua belas) bulan.
3) Prestasi, yaitu adanya objek tertentu
berupa prestasi dan kontra prestasi pada saat tercapainya persetujuan atau kesepakatan perjanjian pemberian kredit
antara bank dengan debitur berupa uang dan bunga atau imbalan. Baik pihak Bank
ataupun pemegang kartu secara timbal balik memberikan prestasi. Bank akan merekomendasikan
setiap penggunaan ataupun penarikan tunai yang dilakukan oleh pemegang kartu
harus sesuai dengan fasilitas kredit yang diperjanjikan. Sedangkan pemegang
kartu harus membayar biaya-biaya, terdiri dari biaya tahunan untuk pemegang
kartu utama dan kartu tambahan disesuaikan dengan jenis kartu yang diterbitkan,
biaya penarikan uang tunai (cash advance) akan dikenakan biaya administrasi
sebesar 4% (empat prosen) dari jumlah penarikan dan bunga penarikan uang tunai
(cash advance) sebesar 3,5% (tiga lima per sepuluh prosen), biaya keterlambatan
pembayaran minimal payment dari batas waktu yang ditentukan sebesar 5% (lima
prosen) dan bunga untuk sisa pembayaran dikenakan sebesar 2,5% (dua lima per
sepuluh prosen), biaya penggunaan melewati batas kredit, biaya permintaan
salinan tagihan dan biaya-biaya lainnya yang diperjanjikan.
4) Resiko, yaitu adanya resiko yang mungkin
terjadi dalam jangka waktu antara pemberian dan pelunasan kredit tersebut,
sehingga untuk mengamankan pemberian kredit dan menutup kemungkinan terjadinya
wanprestasi dari debitur, maka diadakan pengikatan jaminan atau agunan.
Penerbitan kartu kredit memiliki resiko tinggi, dikarenakan dalam pemberian
fasilitas kredit umumnya tidak disyaratkan adanya agunan. Bank sangat beresiko,
jika tidak dikaitkan secara coss collateral dengan fasilitas kredit yang
dimiliki pada bank tersebut.[4]
Pihak-pihak dalam Kartu Kredit.
Strategi
pemasaran kartu kredit sama halnya dengan strategi pemasaran produk – produk
bank lainnya. Dimana ada empat pihak yang terkait dalam pemasaran kartu kredit,
yaitu meliputi:[5]
1) Pihak penerbit kartu kredit yang terdiri
dari :
- Bank
- Lembaga keuangan yang khusus bergerak
di bidang penerbitan kartu kredit.
- Lembaga keuangan yang disamping bergerak
di dalam penerbitan kartu kredit, bergerak juga di bidang kegiatan – kegiatan
lembaga keuangan lainnya.
2) Pihak pemegang kartu kredit (nasabah).
3) Pihak penjual barang atau jasa
(merchant).
4) Pihak perantara yang terdiri dari :
- Perantara penagihan antara penjual dan
penerbit.
- Perantara pembayaran antara pemegang
dan penerbit.
Konsep
dasar kartu kredit merupakan alat identifikasi pribadi yang digunakan untuk
menunda pembayaran atas transaksi jual-beli barang dan jasa. Di beberapa
negara, perusahaan penerbit kartu kredit harus tunduk pada undang-undang yang
mengaturnya. Di Inggris, diatur dalam Consumer Credit Act 1974, dimana
perusahaan kartu harus mengikuti aturan-aturan dalam undang-undang dimaksud,
disamping ketentuan perbankan dan perjanjian pada umumnya.
Secara
umum tujuan dari perusahaan penerbit kartu kredit yaitu:
1) Menerima sebanyak-banyaknya nasabah yang
memiliki kelayakan kredit.
2) Menerima merchant yang dapat dipercaya.
3) Merangsang penggunaan maksimum fasilitas
credit line.
4) Membatasi dan mengurangi piutang
bermasalah dan penyelewengan.
5) Memaksimalkan nilai rata-rata setiap
transaksi kartu (sehingga mengurangi jumlah voucher yang nilainya kecil).
- Dasar Hukum Perlindungan Konsumen Kartu Kredit
Kejahatan Kartu Kredit
Perkembangan teknologi dengan berbagai bentuk
kecanggihan informasi, komunikasi dan transportasi membuat modus kejahatan
semakin marak dilakukan oleh pelaku-pelaku kejahatan, diantaranya dengan
menggunakan kartu kredit.[6]
Kejahatan terhadap kartu kredit sudah banyak jumlahnya
dengan berbagai macam modus. Dari yang manual sampai yang menggunakan teknologi
canggih, dari yang dilakukan dengan unsur paksaan dan kekerasan hingga dengan
cara yang begitu halus. Modus yang sering digunakan pelaku kejahatan kartu
kredit untuk melakukan aksinya adalah dengan mamanfaatkan kecanggihan teknologi
dengan cara mencuri/membobol data dan dengan unsur penipuan yaitu meminta data
pemegang kartu kredit pada saat terperangkap melakukan transaksi palsu.
Kejahatan dengan modus seperti ini dikenal dengan instilah carding. Kasus
carding atau penipuan kartu kredit, yaitu penggunaan kartu kredit secara
illegal/tidak sah untuk memesan atau membeli barang via internet dengan cara
mencantumkan nomor kartu kredit orang lain untuk pembayaran barang yang
dipesan/dibeli.Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan data kartu kredit,
diantaranya dilakukan dengan cara:
a) Chating, merupakan cara yang ampuh sambil
berbincang-bincang dilakukan ajang dalam barter nomor katu kredit;
b) Bill atau tagihan kartu kredit. Mencari
bill atau tagihan dari tong sampah atau dapat terjadi pihak took (merchant)
atau kasir memegang salinan (copy) dari bill dan menyalin nomor kartu kredit
atau dapat pula dengan menggunakan suatu alat untuk merekam data yang ada di
pita magnetic kartu kredit;
c) Jebakan hadiah sering dipergunakan untuk
menggaet orang menyebutkan nomor kartu kredit miliknya. Jebakan ini dapat
dilakukan dengan menelpon atau SMS. Kemudian carder menanyakan nomor kartu kredit dan menjebak
cardholder;
d) Mencuri data melalui telepon. Misalnya
dengan menelpon seseorang dan mengabarkan bahwa penggunaan kartu sudah mencapai
limit. Si pemegang kartu segera complain dan hal ini digunakan oleh si penelpon
dengan meminta nomor kartu dan data lain untuk dicek di database-nya;
e) Cara terakhir adalah dengan menggunakan
perangkat surveillance untuk mendapatkan nomor kartu kredit calon korban.
Selain itu, dengan masuk ke database milik penyedia layanan internet atau situs
komersial akan didapat ratusan bahkan ribuan nomor kartu kredit.
KUHP Sebagai Dasar Penerapan Kejahatan Kartu Kredit
Badan
Hukum Pembinaan Nasional mencoba mengidentifikasikan bentuk-bentuk kejahatan
yang berkaitan dengan aktivitas di cyberspace termasuk didalamnya kejahatan
kartu kredit dengan perundang-undangan pidana yang ada[7].
Hasil identifikasi itu berupa pengategorian perbuatan cybercrime kedalam
delik-delik KUHP sebagai berikut:
a) Joycomputing, diartikan sebagai pebuatan
seseorang yang menggunakan komputer secara tidak sah atau tanpa ijin dan
menggunakannya melampaui wewenang yang diberikan. Tindakan ini dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana Pencurian (Pasal 362 KUHP).
b) Hacking, diartikan sebagai suatu
perbuatan penyambungan dengan cara menambah terminal komputer baru pada system
jaringan komputer tanpa izin (dengan melawan hukum) dari pemilik sah jaringan
komputer tersebut. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
perbuatan tanpa wewenang masuk dengan memaksa ke dalam rumah atau ruangan yang
tertutup atau pekarangan atau tanpa haknya berjalan di atas tanah milik orang
lain (Pasal 167 dan Pasal 551 KUHP).
c) The Trojan Horse, diartikan sebagai suatu
prosedur untuk menambah, mengurangi atau mengubah instruksi pada sebuah program
tersebut selain menjalankan tugas yang sebenarnya juga akan melaksanakan tugas
lain yang tidak sah. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
Penggelapan (Pasal 372 dan Pasal 374 KUHP). Apabila kerugian yang ditimbulkan
menyangkut keuangan Negara, tindakan ini dapat dikategorikan tindak pidana
korupsi.
d) Data leakage, diartikan sebagai pembocoran
data rahasia yang dilakukan dengan cara menulis data-data rahasia tersebut ke
dalam kode-kode tertentu sehingga data dapat dibawa keluar tanpa diketahui oleh
pihak yang bertanggungjawab. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana terhadap keamanan Negara (Pasal 112, Pasal 113 dan Pasal 114 KUHP) dan
tindak pidana membuka rahasia perusahaan atau kewajiban menyimpan rahasia
profesi atau jabatan (Pasal 322 dan Pasal 323 KUHP).
e) Data diddling, diartikan sebagai suatu
perbuatan yang mengubah data valid atau sah dengan cara tidak sah, yaitu dengan
mengubah input data atau output data. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana Pemalsuan Surat (Pasal 263 KUHP).
f) Penyia-nyiaan data komputer, diartikan
sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan suatu kesengajaan untuk merusak
atau menghancurkan media disket dan media penyimpanan sejenis lainnya yang
berisikan data atau program komputer, sehingga akibat perbuatan tersebut data
atau program dimaksud menjadi tidak berfungsi lagi dan pekerjaan-pekerjaan yang
melalui program komputer tidak dapat dilaksanakan. Tindakan ini dapat
dikategorikan sebagai perusakan barang (Pasal 406 KUHP).
g) Carder, diartikan sebagai pengguna kartu
kredit tanpa hak. Untuk menjerat carder digunakan pidana penipuan (Pasal 378
dan Pasal
UU Perlindungan Konsumen
Nasabah kartu kredit memiliki kedudukan (
bargain position ) yang lemah bila dibandingkan dengan bank, sehingga apabila
timbul suatu permasalahan maka akan merugikan nasabah. Nasabah sering dijadikan
obyek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya, misalnya
melalui promosi atau iklan baik media cetak ataupun elektronik, cara penjualan
dan penerapan perjanjian standar atau baku (standar contract) yang merugikan
hak – hak dan kepentingan nasabah. Oleh karena itu dibutuhkan adanya suatu
peraturan yang dapat melindungi kepentingan konsumen, yaitu UU No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan
Konsumen[8].
Penerbitan
Kartu Kredit antara pihak Bank dan nasabah tidak dapat dilepaskan dari
perikatan yang dibuat diantara kedua belah pihak, yaitu bersumber dari
perjanjian.
Perjanjian
KUHPerdata diatur dalam buku III tentang Perikatan, Bab Kedua, Bagian Kesatu
sampai dengan Bagian Keempat.
Pasal
1313 KUHPerdata memberikan rumusan tentang “perjanjian” sebagai berikut: “Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Selanjutnya
menurut Pasal 1320 KUHPerdata, dirumuskan bahwa untuk sahnya persetujuan
diperlukan syarat :
1.
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
2.
kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.
suatu hal yang tertentu
4.
suatu sebab yang halal
Menurut
R. Setiawan, rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak
lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena
dengan dipergunakan kata “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan
perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan itu, perlu kiranya diadakan
perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu:
a) Perbuatan harus diartikan sebagai
perbuatan hukum;
b) Menambahkan perkataan “atau saling
mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUHPerdata.
Sehingga
perumusannya menjadi: “Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih.” Pengertian
perjanjian dikemukakan pakar Subekti, yang mengatakan: “Suatu perjanjian adalah
suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.” Dari kedua pasal tersebut dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa perjanjian menganut asas kebebasan berkontrak. Kebebasan
disini memiliki arti bahwa semua pihak yang mengadakan perjanjian bebas dalam
menentukan apa dan dengan siapa perjanjian tersebut dibuat. Pelaksanaannya berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang –
Undang. Asas kebebasan berkontrak merupakan asas penting dalam hukum
perjanjian. Akan tetapi dalam hal ini asas kebebasan berkontrak belum dapat
diterapkan sepenuhnya di dalam perjanjian antara nasabah dengan pihak bank,
sebab perjanjian yang digunakan oleh bank adalah merupakan perjanjian baku.
hukum antara bank dengan nasabah pengguna jasa kartu kredit, terdapat adanya
prinsip kehati-hatian di dalamnya. Perjanjian antara bank dengan calon nasabah
pada dasarnya memiliki bentuk dan materi yang sama antara bank yang satu dengan
yang lain, yaitu dilakukan dalam bentuk tertulis. Apabila perjanjian tersebut
telah disetujui oleh kedua belah pihak maka telah terjadi kesepakatan antara
bank dengan nasabah tersebut. Sehingga antara bank dengan nasabah pengguna jasa
kartu kredit dapat melahirkan hubungan hukum.
Mariam
Darus Badrulzamam memberikan definisi mengenai perjanjian baku sebagai
perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.Dalam
perjanjian baku nasabah tidak memiliki hak untuk menolak atau tidak setuju
tehadap isi perjanjian tersebut.Perjanjian atau klausa baku menurut ketentuan
Pasal 1 angka 10 Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
adalah: setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan
dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan
dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen. Dalam pembuatan perjanjian baku atau standar ini bank selaku pelaku
usaha diberi batasan – batasan agar tidak mencantumkan hal – hal yang merugikan
nasabah selaku konsumen. Batasan – batasan tersebut termuat dalam Pasal 18
UUPK. Selain berlaku UUPK, khususnya ketentuan tentang pencantuman klausula
baku sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUPK, tanggungjawab perdata atas dasar
perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha masih tetap berlaku hukum perjanjian
sebagaimana dimuat dalam buku III KUH Perdata.Sebagaimana yang berlaku selama
ini , di dalam perjanjian atau aplikasi perbankan lazimnya , tercantum klausula
baku mengenai ketentuan yang berlaku di bank . Nasabah umumnya tidak punya
kesempatan tak punya kesempatan untuk menegosiasikan klausula tersebut. Dari
hasil penelitian, terlihat bahwa salah satu klausula baku perbankan yang sering
dipermasalahkan adalah adanya ketentuan yang menyatakan bahwa nasabah tunduk
pada ketentuan yang dibuat bank , baik yang berlaku sekarang maupun yang
ditetapkan kemudian oleh bank. Di dalam aplikasi perjanjian kartu kredit
terdapat adanya klausula eksonerasi yang tidak sesuai dengan Pasal 18 UUPK[9].
Isi dari aplikasi perjanjian kartu kredit adalah “Apabila saya dinyatakan lalai
dalam melaksanakan kewajiban yang timbul dari penggunaan kartu, saya bersedia
secara sukarela untuk menyerahkan harta kekayaan milik saya kepada Bank Card
Center untuk mengkompensasikan, menjual atau mencairkan harta kekayaan tersebut
guna menyelesaikan seluruh kewajiban saya tersebut ”.Dalam hal ini klausula tersebut
tidak sesuai dengan Pasal 18 butir f yang menyatakan memberi hak kepada pelaku
usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen
yang menjadi obyek jual beli jasa.Sebenarnya klausula dalam aplikasi perjanjian
kartu kredit tidak bertentangan dengan Pasal 18, tetapi yang menjadi
permasalahan adalah siapa dan bagaimana cara untuk menentukan apakah nasabah
tersebut benar – benar telah lalai atau tidak, karena tidak menutup kemungkinan
juga bahwa Bank sendiri yang salah, misalnya adanya kesalahan teknis ataupun
human error yang dilakukan oleh pihak Bank.
Kelemahan
Perlindungan Nasabah Kartu Kredit
Perlindungan
hukum terhadap nasabah pengguna jasa kartu kredit belum dapat berjalan dengan
semestinya. banyak faktor penghambat yang menjadi kendala yang dapat
mempengaruhi pelaksanaan perlindungan hukum terhadap nasabah pengguna jasa
kartu kredit, antara lain :
a) Dilihat dari sisi pelaku usaha
Tidak
menutup kemungkinan yang besar bahwa kendala yang dihadapi di dalam
perlindungan nasabah kartu kredit juga berasal dari pihak pelaku usaha itu
sendiri, ini dikarenakan menyangkut human error, dimana kesalahan yang terjadi
di dalam transaksi kartu kredit juga didasari oleh pihak Bank, misalnya pihak
bank bertanggung jawab untuk memperoleh tanda bukti penerimaan dari penerima
uang, masalah transfer dana yang tidak sampai ke tangan nasabah kartu kredit.
b) Dilihat dari sisi nasabah sebagai
konsumen
Dimana
pihak pemegang kartu kredit selaku konsumen tidak membaca informasi yang jelas
dan kurang teliti pada saat penandatanganan aplikasi kartu kredit.
c) Dilihat dari sisi lain-lain (teknologi
dan tanggungjawab pihak terkait)
• Memungkinkan terjadinya penyalahgunaan
atau kejahatan jasa layanan elektronik oleh pihak yang tidak bertanggung jawab
.
· Nasabah akan mengalami kesulitan
melakukan klaim kepada pihak bank apabila terjadi permasalahan karena beberapa
jasa pelayanan elektronik tersebut, sebab tidak ada bukti atas transaksi yang
dilakukan oleh nasabah.
· Kondisi VSAT ( Jaringan Vertikal
Satelit ) adalah jaringan komunikasi yang seringkali menjadi hambatan , karena
teknologi canggih yang digunakan bank tersebut belum dapat memberikan
kenyamanan yang maksimal bagi nasabahnya.
• Sumber daya manusia yang kurang mendukung.
• Kurang berperannya pihak-pihak yang
terkait dengan perlindungan terhadap nasabah kartu kredit, yaitu Bank Indonesia
dalam upayanya untuk memberikan perlindungan kepada nasabah perbankan masih
terbatas pada kegiatan operasional dari suatu Bank. Atau Lembaga perlindungan
konsumen belum berperan secara aktif dalam memberikan perlindungan kepada
konsumen termasuk juga kepada nasabah perbankan. Hal ini dikarenakan kurangnya
sosilalisasi dari lembaga tersebut sehingga nasabah perbankan tidak memiliki
informasi yang cukup mengenai keberadaan dari lembaga ini. Dari hasil
penelitian diketahui bahwa apabila terjadi permasalahan antara nasabah
perbankan dengan pihak bank maka penyelesaiannya dilakukan secara musyawarah
antara nasabah dengan pihak bank. Hal ini disebabkan oleh karena menyangkut
kredibilitas nama bank tersebut dimata masyarakat.
d) Dilihat dari Perundang-undangan
Bahwa
selama ini belum ada peraturan khusus mengenai transaksi Electronic Funds
Transfer khususnya kartu kredit di Indonesia untuk dijadikan acuan atau dasar.
Meskipun sekarang ini Pemerintah telah mensahkan Undang – Undang No. 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, namun dirasakan undang –
undang tersebut belum efisien, hal ini dikarenakan terdapat adanya kritik di
tubuh undang – undang itu sendiri. Kebijakan pengaturan untuk menangani
kejahatan yang timbul melalui kartu kredit nampaknya belum jelas dan masih ragu
– ragu. Dalam Undang – Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik hanya terdapat satu pasal yang mengatur kejahatan kartu kredit,
yaitu berkaitan dengan perbuatan menggunakan dan / mengakses kartu kredit orang
lain secara tanpa hak. Berdasarkan pada alur proses transaksi kartu kredit,
ketentuan dalam Pasal 51 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik hanya dapat menjangkau pelanggaran pada tahapan card embossing and
delivery ( courir / recipient or customer ) dan usage.
Namun
demikian, tidak semua modus operandi dalam tahapan tersebut dapat terjangkau,
karena ketentuan Pasal 51 juncto Pasal 34 hanya mengatur perbuatan oleh orang
yang menggunakan kartu kredit, tetapi tidak termasuk pedagang atau juga
pengelola yang juga dapat menjadi pelaku kejahatan kartu kredit.. Sehingga
apabila terjadi permasalahan yang berkaitan dengan hal ini maka menggunakan
Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen untuk
menyelesaikannya, meskipun UUPK itu sendiri tidak mengatur secara khusus
transaksi–transaksi EFT khususnya kartu kredit yang menggunakan sarana teknologi.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
1.
Kejahatan kartu kredit belum terdapat rumusannya secara normatif dalam hukum
positif. BPHN telah mencoba mengidentifikasikan bentuk-bentuk kejahatan yang
berkaitan dengan aktivitas di cyberspace, termasuk didalamnya kejahatan kartu
kredit dengan perundang-undangan pidana yang ada.
2.
Masih lemahnya perlindungan dari Undang–undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen terhadap nasabah kartu kredit yang ditandai dengan
dominannya Bank membuat klausula-klausula baku, yang cenderung merugikan
nasabah.
3.
Kebijakan pengaturan kejahatan kartu kredit nampaknya belum jelas dan masih
ragu-ragu. Dalam Undang–undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik hanya terdapat satu pasal yang mengatur kejahatan kartu
kredit, yaitu berkaitan dengan perbuatan menggunakan dan/ mengakses kartu
kredit orang lain secara tanpa hak. Berdasarkan pada alur proses transaksi
kartu kredit, ketentuan dalam Pasal 51 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik hanya dapat menjangkau pelanggaran pada tahapan
perbuatan menggunakan dan atau mengakses kartu kredit orang lain tanpa hak.
Ketentuan Pasal 51 juncto Pasal 34 hanya mengatur perbuatan yang dilakukan oleh
orang yang menggunakan kartu kredit, tetapi tidak termasuk pedagang atau
pengelola yang juga dapat menjadi pelaku kejahatan kartu kredit.
DAFTAR PUSTAKA
Sigid
Suseno, 2004. Kejahatan Kartu Kredit dalam RUU Informasi dan Transaksi
Elektronik, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
The
Legal Framework. Unauthorized Access to Computer Systems, Penal Legislation in
37 Countries. http://www.mossbyrett.of.no/info/legal.html. 15 Pebruari 2000
Johannes Ibrahim, 2004, DILEMATIS ANTARA KONTRAK DAN
KEJAHATAN, Refika Aditama, Bandung, h. 7.
Collins, 1988, DICTIONARY OF ECONOMICS,
Collins Reference, Cambrige, h. 105.
A.
F.Elly Erawaty dan J. S. Badudu, 1996, KAMUS HUKUM EKONOMI, ELIPS, Jakarta,
hal.27
Munir
Fuady, 1999, HUKUM TENTANG PEMBIAYAAN (DALAM TEORI DAN PRAKTEK), PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal.174-177
Dahlan
Siamat, 1999, MANAJEMEN LEMBAGA KEUANGAN, Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta
http://www.hukumonline.com
Http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2005/05/22/brk,20050522-61334,id.html
Badan
Pembinaan Hukum Nasional, 1995/1996, PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
TENTANG HUKUM TEKNOLOGI DAN INFORMASI, BPHN-Departemen Kehakiman Republik
Indonesia
[1] A. F.Elly Erawaty dan J. S. Badudu, 1996, KAMUS HUKUM EKONOMI, ELIPS,
Jakarta, hal.27
[2] ibid
[3] Munir Fuady, 1999, HUKUM TENTANG PEMBIAYAAN (DALAM TEORI DAN PRAKTEK),
PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.174-177
[4] ibid
[5] Johannes Ibrahim, 2004,
DILEMATIS ANTARA KONTRAK DAN KEJAHATAN, Refika Aditama, Bandung, h. 7.
[6] Sigid Suseno, 2004. Kejahatan Kartu Kredit dalam RUU Informasi dan
Transaksi Elektronik, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
[7] Subekti, 1984, HUKUM
PERJANJIAN, Intermasa, Jakarta, hal. 1.
[8] Mariam Darus Badrulzamam, 1980, PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN DILIHAT
DARI PERJANJIAN BAKU, Jakarta, Hal. 5
[9] R. Setiawan, 1979, POKOK-POKOK
HUKUM PERIKATAN, Binacipta, Bandung, hal. 49.
Post title : Hukum Perbankan
URL post : https://didiklaw.blogspot.com/2014/04/hukum-perbankan.html
URL post : https://didiklaw.blogspot.com/2014/04/hukum-perbankan.html
0 komentar:
Show Emoticons
Posting Komentar