Rabu, 30 Oktober 2013

Makalah Tentang Problematika Penegakan Hukum Korupsi

Meat Ball Shop
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan kepada kita. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasullullah Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan umatnya,  Amin.
Alhamdulillah Penulis dapat menyelesaikan tugas dari dosen pengampu mata kuliah Pidana Khusus, Loso SH.,MH. dengan judul “Problematika Penegakan Hukum Korupsi”.
Makalah ini disusun berdasarkan apa yang Penulis dapat dari dosen pengampu mata kuliah pidana Khusus dan sumber–sumber  literatur lain yang relevan. Namun demikian Penulis menyadari jika adanya kekurangan–kekurangan di dalam makalah ini dan oleh karena kekurangan itu untuk dapat terlengkapi melalui diskusi serta bimbingan dan arahan dari dosen pengampu.
Cukup sekian yang dapat Penulis ungkapkan dalam kata pengantar ini, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Demikian dan terima kasih. 


Pekalongan, 26 Oktober 2013






DAFTAR ISI

Halaman  Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar  Isi iii

BAB I : PENDAHULUAN
1. Latar Belakang 1
2. Perumusan Masalah 3
3. Tujuan     3

BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Money Laundering 5
B. problematika penegakan hukum tindak pidana korupsi 9


BAB III : PENUTUP 
A. Simpulan                                                                                 15
B. Saran 15

Daftar Pustaka 16





BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan penegakan hukum akhir-akhir ini menjadi perhatian masyarakat luas yang mulai menunjukkan sikap prihatin karena penegakan hukum yang terjadi selama ini belum memberikan arah penegakan hukum yang benar sesuai dengan harapan masyarakat dalam penyelenggaraan Negara hukum Indonesia.
Masyarakat telah sepakata meletakkan dasar reformasi pada tiga pilar, yaitu pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang ketiganya bertumpu kepada hukum dan penegakan hukum. Reformasi di bidang hukum dimulai dengan melakukan perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis UUD RI 1945) dan dilanjutkan dengan serangkaian perubahan undang-undang yang berkaitan dengan penyelenggaraan demokrasi dan undang-undang yang esensinya melanjutkan sikap yang anti KKN dalam lapangan hukum administrasi dan hukum pidana. 
Dalam perjalannya selama kurang lebih 13 tahun, reformasi di bidang hukum dan penegakan hukum menunjukkan indikasi yang tidak menggembirakan yang ditandai dengan kecemasan masyarakat terhadap praktek penegakan hukum, terutama ditujukan kepada tindak pidana korupsi dan tindak pidana dalam penyelenggaraan Negara.
Pada dua sektor yang terakhir ini (tindak pidana korupsi dan tindak pidana dalam penyelenggaraan Negara) dalam perkembangannya menunjukkan gelagat yang tidak menggembirakan dan masyarakat mulai curiga dan meulai tidak percaya karena ada dugaan terjadinya permainan politik dalam praktek penegakan hukum. Permainan politik ini tidak dama dengan intervensi politik terhadap aparat penegak hukum, tetapi lebih jauh lagi terjadi konspirasi antara pemegang kendali politik/kekuasaan, pembentuk hukum dan dengan aparat penegak hukum dan hakim.
Problem hukum dan penegakan hukum tersebut tercermin dari adanya indikasi rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap praktek penegakan hukum mulai merembet naik dan adanya gejala masyarakat cenderung menyelesaikan sendiri di luar pengadilan meskipun perbuatan tersebut melanggar hukum (melakukan penghakiman sendiri) dan sekarang mulai ada gerakan untuk menuntut secara resmi dan pengesahan mengenai penyelesaian perkara di luar pengadilan untuk perkara pidana serta dibentuknya berbagai komisi independen yang diberi wewenang di bidang penegakan hukum sebagai bentuk lain dari ketidak percayaan masyarakat terhadap hukum dan penegakan hukum yang terjadi selama ini.
Dalam kaitan dengan permasalahan hukum tersebut di atas, pembahasan dalam makalah ini dibatasi terhadap dua permasalahan hukum yaitu problem penegakan hukum di Indonesia dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan praktek hukum yang menimbulkan sikap apatisme masyarakat. Dari hasil pembahasan terhadap dua problem hukum tersebut kemudian dicarikan alternatif pemecahannya dan rekomendasi.

B. Perumusan Masalah
1. Apa yang di maksud penegakan hukum?
2. Bagaimana problematika penegakan hukum tindak pidana korupsi?

C. Tujuan Pembahasan
1. Agar Mengetahui tentang penegakan hukum
2. Untuk member pemahaman serta gambaran problematika penegakan hukum tindak pidana korupsi.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Penegak Hukum

Ruang lingkup istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum Penegak hukum merupakan warga masyarakat, yang mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yakni menegakan (dalam arti memperlancar hukumMenurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. para pe­ne­gak hukum dapat dilihat pertama-tama sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau orga­nisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri.Penegak hukum merupakan salah satu komponen sistem hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Friedmann, yaitu struktural hukum. Adapun mengenai struktural hukum menurut Fredmann sebagaimana di kutip oleh Abdurrahman.yaitu:
“The moving parts, so to speak of the machine courts are simple and obvious….”
Jika diterjemahkan secara bebas adalah: unsur penggerak, agar lembaga hukum dapat bekerja secara mudah dan jelas.
Dengan kata lain, Friedmann menggambarkan struktural hukum merupakan “motor penggerak” yang memungkinkan sistem hukum dapat bekerja secara nyata dalam masyarakat.
Struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan secara keseluruhan. Dengan demikian, struktur hukum pada dasarnya menunjuk pada lembaga-lembaga (hukum) dan lembaga-lembaga itu meliputi lembaga pembuat undang-undang, pengadilan, polisi, advokat, termasuk jaksa (kejaksaan), dan lembaga penegak hukum yang secara khusus diatur oleh undang-undang seperti KPK Lembaga-lembaga hukum tersebut mengemban tugas untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum. Tujuan tersebut sering dirumuskan sebagai menciptakan tata tertib di dalam masyarakat. Dengan demikian, maka apa yang disebut sebagai lembaga itu adalah pengorganisasian kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan-tujuan hukum tersebut. Pengadilan merupakan salah satu organisasi yang mengemban tugas sedemikian itu. 
Aparat penegak hukum memiliki fungsi yang sangat strategis dan signifikan dalam menegakan hukum. Hal ini tercermin dari para aparat penegak hukum itu merupakan salah satu unsur yang paling berpengaruh dalam penegakan hukum. Bahkan menurut Daniel S. Lev, sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto
Yang menjadi hukum itu ialah praktik sehari-hari oleh pejapat hukum. Kalau pejabat-pejabat hukum termasuk hakim-hakim, jaksa-jaksa, advokat-advokat, pokrol bambu, polisi-polisi dan pegawai-pegawai pemerintah pada umumnya berubah ini berarti bahwa hukum sudah berubah, walaupun undang-undangnya sama saja seperti dulu.
Jadi, menurut penulis wajar jika pada dekade baru-baru ini berkembang asumsi dan spekulasi negatif di tengah masyarakat yang mengatakan bahwa hukum sekarang sudah berubah dan keluar dari koridor sebagaimana yang telah diatur undang-undang. Mungkin inilah salah satu penyebabnya, sebagaimana disebutkan oleh Daniel S. Lev di atas.
B. Peranan Penegak Hukum
Menurut Sudikno Mertokusumo tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban dalam masyarakat diharapakan kepentingan manusia akan terindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiaban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.
Hal tersebut di atas tidak mungkin terwujud dalam masyarakat jika aparat penegak hukum tidak memainkan perannya dengan maksimal sebagai penegak hukum. Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu dalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu merupakan peranan (role). Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat dan tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan  tertentu, dapat dijabarkan dalam unsur-unsur sebagai berikut:

a.    peranan yang ideal (ideal role),
b.    peranan yang seharusnya (expected role),
c.    peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role), dan
d.   peranan yang sebenarnya dilakukan (aktual role).

Seorang penegak hukum , sebagaimana halnya dengan warga masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa antara pelbagai kedudukan dan peranan timbul konflik (status conflict dan conflict of role). Kalau dalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual, maka terjadi suatu kesenjangan peranan (role-distace).Masalah peranan dianggap penting, oleh karena pembahasan menganai penegak hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi (pertimbangan). Sebagaimana dikatakan di muka, maka diskresi menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum, di mana penilaian pribadi juga memegang peranan. Di dalam penegakan hukum diskresi sangat penting karena:

a.    tidak ada peraturan perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia,
b.    adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan perundang-undangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakpastian,
c.    kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang, dan
d.   adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus.
Penggunaan perspektif peranan dianggap mempunyai keuntungan-keuntungan tertentu, oleh karena: 
1.    faktor utama adalah dinamika masyarakat,
2.    lebih mudah untuk membuat suatu proyeksi, karena pemusatan perhatian pada segi prosesual,
3.    lebih memperhatikan pelaksanaan hak dan kewajiban serta tanggung jawab, daripada kedudukan dengan lambang-lambangnya yang cenderung bersifat konsumtif.

C. Problematika Penegak Hukum dalam Menegakan Hukum di Tengah Masyarakat

Masalah utama penegakan hukum di negara-negara berkembang khususnya Indonesia bukanlah pada sistem hukum itu sendiri, melainkan pada kualitas manusia yang menjalankan hukum (penegak hukum). Dengan demikian peranan manusia yang menjalankan hukum itu (penegak hukum) menempati posisi strategis. Masalah transparansi penegak hukum berkaitan erat dengan akuntabilitas kinerja lembaga penegak hukum. Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, telah menetapkan beberapa asas. Asas-asas tersebut mempunyai tujuan, yaitu sebagai pedoman bagi para penyelenggara negara untuk dapat mewujudkan penyelenggara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran (masyarakat), di samping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Selain itu, maka golongan panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional tertentu, sehingga menggairahkan partispasi dari golongan sasaran atau masyarakat luas. Golongan panutan juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat di dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang baru serta memberikan keteladanan yang baik.
Namun sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah masih rendahnya moralitas aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan advokat ) serta judicial corruption yang sudah terlanjur  mendarah daging sehingga sampai saat ini sulit sekali diberantas. Adanya judicial corruption jelas menyulitkan penegakan hukum di Indonesia karena para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktek korupsi, sehingga sulit diharapkan bisa ikut menciptakan good governance. Penegakan hukum hanya bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga hukum (hakim, jaksa, polis dan advokat) bertindak profesional, jujur dan menerapkan prinsip-prinsip good governance.
Beberapa permasalahan mengenai penegakan hukum, tentunya tidak dapat terlepas dari kenyataan, bahwa berfungsinya hukum sangatlah tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum itu sendiri, penegak hukum, fasilitasnya dan masyarakat yang diaturnya. Kepincangan pada salah satu unsur, tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan bahwa seluruh sistem akan terkena pengaruh negatifnya.Misalnya, kalau hukum tertulis yang mengatur suatu bidang kehidupan tertentu dan bidang-bidang lainnya yang berkaitan berada dalam kepincangan. Maka seluruh lapisan masyarakat akan merasakan akibat pahitnya.
Penegak hukum yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, meliputi: petugas strata atas, menengah dan bawah. Maksudnya adalah sampai sejauhmana petugas harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis yang mencakup ruang lingkup tugasnya. Dalam penegakkan hukum, menurut Soerjono Soekanto sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Ali, kemungkinan penegak hukum mengahadapi hal-hal sebagai berikut:

a).      Sampai sejauhmana petugas terikat dengan peraturan yang ada,
b).      Sampai batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan,
c).      Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat,
d).     Sampai sejauhmanakah derajat sinkronisasi penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya.

Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.
Kondisi riil yang terjadi saat ini di Indonesia mengindikasikan adanya kegagalan aparat-aparat penegak hukum dalam menegakan hukum. Kegagalan penegakan hukum secara keseluruhan dapat dilihat dari kondisi ketidakmampuan (unability) dan ketidakmauan (unwillingness) dari aparat penegak hukum itu sendiri. Ketidakmampuan penegakan hukum diakibatkan profesionalisme aparat yang kurang, sedangkan ketidakmauan penegakan hukum berkait masalah KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) yang dilakukan oleh aparat hukum sudah menjadi rahasia umum.Terlepas dari dua hal di atas lemahnya penegakan hukum di Indonesia juga dapat kita lihat dari ketidakpuasan masyarakat karena hukum yang nota benenya sebagai wadah untuk mencari keadilan bagi masyarakat, tetapi malah memberikan rasa ketidakadilan.
Lembaga hukum merupakan lembaga penegak keadilan dalam suatu masyarakat, lembaga di mana masyarakat memerlukan dan mencari suatu keadilan. Idealnya, lembaga hukum tidak boleh sedikitpun bergoyah dalam menerapkan keadilan yang didasarkan atas ketentuan hukum dan syari’at yang telah disepakati bersama. Hukum menjamin agar keadilan dapat dijalankan secara murni dan konsekuen untuk seluruh rakyat tanpa membedakan asal-usul, warna kulit, kedudukan, keyakinan dan lain sebagainya. Jika keadilan sudah tidak ada lagi maka masyarakat akan mengalami ketimpangan. Oleh karena itu, lembaga hukum dalam masyarakat madani harus menjadi tempat mencari keadilan. Hal ini bisa diciptakan jika lembaga hukum tersebut dihormati, dijaga dan dijamin integritasnya secara konsekuen.
Jika kita berkaca kepada potret penegakan hukum di Indonesia saat ini (kembali penulis tegaskan) belumlah berjalan dengan baik, bahkan bisa dikatakan buruk. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia saat ini dapat tercermin dari berbagai penyelesaian kasus besar yang belum tuntas salah satunya praktek korupsi yang menggurita, namun ironisnya para pelakunya sangat sedikit yang terjerat oleh hukum. Kenyataan tersebut justru berbanding terbalik dengan beberapa kasus yang melibatkan rakyat kecil, dalam hal ini aparat penegakkan hukum cepat tanggap, karena sebagaimana kita ketahui yang terlibat kasus korupsi merupakan kalangan berdasi alias para pejabat dan orang-orang berduit yang memiliki kekuatan (power) untuk menginterfensi efektifitas dari penegakan hukum itu sendiri.
Realita penegakan hukum yang demikian sudah pasti akan menciderai hati rakyat kecil yang akan berujung pada ketidakpercayaan masyarakat pada hukum, khususnya aparat penegak hukum itu sendiri.Sebagaimana sama-sama kita ketahui para pencari keadilan yang note bene adalah masyarakat kecil sering dibuat frustasi oleh para penegak hukum yang nyatanya lebih memihak pada golongan berduit. Sehingga orang sering menggambarkan kalau hukum Indonesia seperti jaring laba-laba yang hanya mampu menangkap hewan-hewan kecil, namun tidak mampu menahan hewan besar tetapi hewan besar tersebutlah yang mungkin menghancurkan seluruh jaring laba-laba.
Problematika penegakan hukum yang mengandung unsur ketidakadilan tersebut mengakibatkan adanya isu mafia peradilan, keadilan dapat dibeli, munculnya bahasa-bahasa yang sarkastis dengan plesetan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang), KUHAP diplesetkan sebagai Kurang Uang Hukuman Penjara, tidaklah muncul begitu saja. Kesemuanya ini merupakan “produk sampingan” dari bekerjanya lembaga-lembaga hukum itu sendiri. Ungkap-ungkapan ini merupakan reaksi dari rasa keadilan masyarakat yang terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukum yang tidak profesional maupun putusan hakim/putusan pengadilan yang semata-mata hanya berlandaskan pada aspek yuridis. Berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat, mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan paparan dari pembahasan di atas dapat ditarik beberapa pikaran konklusif, yaitu sebagai berikut:
v  Penegak hukum merupakan sebutan bagi mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum, baik berupa institusi maupun berupa badan atau orga­nisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri (independen).
v  Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu dalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu merupakan peranan (role). Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Paling tidak bagi penegak itu ada tiga peranan yang diembannya dalam menjalankan tugas, yaitu: (1) peranan yang ideal (ideal role), (2) peranan yang seharusnya (expected role), dan (3) peranan yang sebenarnya dilakukan (aktual role).

DAFTAR PUSTAKA

Soleman B. Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 76

Lihat, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Cet. keempat, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1980), hlm. 65

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. Kedua belas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 101
29] Lihat kembali, Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004, Pasal 1 ayat (1)

Lihat, Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1 ayat (1)

Lihat kembali, Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Lihat, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003  tentang Advokat, Pasal 1 ayat (1)

Lihat kembali, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003  tentang Advokat, Pasal 1 ayat (2)










Post title : Makalah Tentang Problematika Penegakan Hukum Korupsi
URL post : https://didiklaw.blogspot.com/2013/10/makalah-tentang-problematika-penegakan.html

0 komentar:

Show Emoticons

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n: :o: :q: :s:

Posting Komentar