Minggu, 04 Mei 2014

ANALISIS KORUPSI MENURUT HUKUM DAN MORAL

Meat Ball Shop-


ANALISIS KORUPSI MENURUT HUKUM DAN MORAL     
            Istilah etika secara etimologis berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat kebiasaan, yang dibatasi dengan dasar nilal moral menyangkut apa yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan, yang baik atau tidak baik, yang pantas atau tidak pantas pada perilaku manusia (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1989:205). Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya untuk menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.
Dalam pengertiannya yang secara khusus, dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini digambarkan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip prinsip moral yang ada, dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya.
Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit professional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya.
Sedangkan yang dimaksud dengan etika birokrasi adalah cara-cara untuk melakukan birokrasi, yang mencakup seluruh jajaran yang berkaitan dengan individu, perusahaan, organisasi dan juga masyarakat, termasuk penegak hukum. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan birokrasi secara adil (fairness), sesuai dengan etika dan hukum yang berlaku (legal) tidak tergantung pada kedudukani individu ataupun jabatan di masyarakat. Etika birokrasi akan lebih luas dan lebih tinggi dari standar minimal bila ketentuannya diatur oleh hukum (legal), karena dalam kegiatan birokrasi seringkali kita temukan “grey-area” yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.
Maka etika birokrasi peradilan bisa diartikan sebagai sistem yang berisikan prinsip-prinsip moral atau aturan-aturan perbuatan yang mengendalikan atau mempengaruhi kebiasaan pejabat hukum dalam menjalankan sistem peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan berpegang pada nilai-nilai, seperti: jujur, adil, tepat janji, taat aturan, tanggung jawab, responsif, hati-hati, dan sopan santun.
Fungsi Etika Birokrasi
Etika sangat erat fungsinya dan menyatu dengan kegiatan pembangunan. Apa saja yang dilakukan demi mencapai taraf hidup yang lebih baik, peranan etika sangat berfungsi. Sistem dan prosedur yang berlaku dalam pembangunan, sarat dengan nilai-nilai moral yang harus dipegang teguh oleh mereka yang terlibat dalam pembangunan. Apa yang kita laksanakan dalam pembangunan pada hakekatnya adalah dari, oleh, dan untuk manusia atau 'people centered development'. Dalam rumusan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) disebut pembangunan manusia se-utuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Dan dalam hal pemilihan nilai-nilai etika penyelenggara negara, perlu ditetapkan nilai-nilai etika yang akan dilaksanakan oleh seluruh penyelenggara negara sesuai dengan harapan rakyat dan pemerintah serta dapat dilaksanakan. Agar nilai-nilai etika birokrasi dapat dilaksanakan dengan baik maka diperlukan payung hukum yang menjadi acuan seluruh aturan etika di bawahnya, dan aturan yang sudah ada perlu diharmonisasi atau diubah.
 Latar Belakang Masalah
Berbicara tentang Etika Birokrasi dewasa ini menjadi topik yang sangat menarik dibahas, terutama dalam mewujudkan penegakan hukum yang adil dan bersih. Kecenderungan atau gejala yang timbul dewasa ini banyak penegak hukum dalam pelaksanaan tugasnya sering melanggar aturan main yang telah ditetapkan. Etika penegak hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat terkait dengan moralitas dan mentalitas aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas-tugas peradilan itu sendiri yang tercermin lewat fungsi pokok penegak hukum, yaitu fungsi menegakkan keadilan dalam masyarakat. Jadi berbicara tentang Etika Birokrasi berarti kita berbicara tentang bagaimana aparat Birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi tugasnya sesuai dengan ketentuan aturan yang seharusnya dan semestinya, yang pantas untuk dilakukan dan yang sewajarnya dimana telah ditentukan atau diatur untuk ditaati dilaksanakan.
Harapan masyarakat untuk memiliki pemerintahan yang adil, baik, peduli, melayani, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, masih jauh dari realitas. Masuknya orang-orang baru dalam pemerintahan (reformasi), baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif, dirasa masih belum mampu menciptakan perbaikan nyata kinerja pemerintahan.
Kinerja birokrasi penegakan hukum menjadi isu yang strategis, karena memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan masyarakat agar semua bisa tertib. Salah satu upaya pembenahan birokrasi dan manajemen Pemerintah sebagai fasilitator keadilan adalah perubahan mindset sumber daya manusia (SDM) dari pola pikir yang selalu ingin dilayani menjadi pola pikir wirausahawan yang melayani konsumen yaitu masyarakat.
Dalam kesempatan ini kita mengangkat salah satu contoh pejabat  penegak hukum yang menggar etika untuk dibahas dalam makalah ini yaitu seorang jaksa yang melanggar kode etik sebagai penegak hukum (mafia hukum), terkait kasus suap oleh koruptor.

2. Landasan Teoritis
     Tugas dari suatu Birokrasi salah satunya harus sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, tugas Pegawai Negeri, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata, menyelenggarakan tugas negara, menyelenggarakan tugas pemerintahan, dan menyelenggarakan tugas pembangunan. Dalam undang-undang tersebut juga ditegaskan bahwa pegawai negeri harus bebas dari pengaruh golongan dan partai politik.
Etika Birokrasi telah termuat dalam peraturan Kepegawaian yang mengatur para aparat Birokrasi (Pegawai negeri) itu sendiri, yang mana kita tahu bahwa Birokrasi merupakan sebuah organisasi penyelenggara pemerintahan yang terstruktur dari pusat sampai kedaerah dan memiliki jenjang atau tingkatan yang disebut hirarki. Jadi Etika Birokrasi sangat terkait dengan tingkah laku para aparat birokrasi itu sendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Aparat Birokrasi secara kongkrit di negara kita yaitu Pegawai Negeri baik itu Sipil maupun Militer, yang secara Organisatoris dan hirarkis melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing sesuai aturan yang telah ditentukan. Etika Birokrasi merupakan bagian dari aturan main dalam organisasi Birokrasi atau Pegawai Negeri yang secara structural telah diatur aturan mainnya, dimana kita kenal sebagai Kode Etik Pegawai Negeri, yang telah diatur lewat Undang-undang Kepegawaian. Kode Etik yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut Sapta Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia (Sapta Prasetya KORPRI) dan dikalangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) disebut Sapta Marga dan dikejaksaan disebut dengan Korps Adhyaksa. Menanamkan Kode Etik tersebut adalah demi terciptanya Aparat Birokrasi lebih jujur, lebih bertanggung jawab, lebih berdisiplin, dan lebih rajin serta yang terpenting lebih memiliki moral yang baik terhindar dari perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan lain-lain. Agar tercipta Aparat Birokrasi yang lebih beretika sesuai harapan di atas, maka perlu usaha dan latihan ke arah itu serta penegakkan sangsi yang tegas dan jelas kepada mereka yang melanggar kode Etik atau aturan yang telah ditetapkan.
Perilaku birokrasi terbentuk dari interaksi antara dua variabel, yaitu karakteristik birokrasi dan karakteristik manusia, atau lebih spesifi lagi, struktur dan aktor. Antara karakteristik itu dengan perilaku terdapat hubungan yang sedikit banyak bersifat kausal. Misalnya pada variabel organisasi, hierarki menimbulkan sifat taat bawahan terhadap atasan. Pada variabel manusia, kepentingan atau kebutuhan hidup menuntut imbalan yang memadai dari organisasi. Perilaku birokrasi jauh berbeda jika dipahami dalam hubungan pemerintahan. Hubungan birokratik tidak sama dengan hubungan pemerintahan. Ketika Birokrasi Pemerintahan bertindak keluar, terjadilah hubungan birokratik pemerintahan, tetapi hubungan ini tidak identik dan tidak analog dengan hubungan birokratik. Dalam banyak hal, yang diperintah dan manusia bukanlah bawahan pemerintah. Bahkan pada saat rakyat berfungsi sebagai pemegang kedaulatan, pemerintah berada di bawahnya. Jika dilihat kondisi Indonesia pada saat ini, melalui fakta-fakta yang ada, saat ini masih banyak instansi-instansi pemerintah yang belum mampu menerapkan prinsip etika administrasi yang baik, sekali lagi hal ini tertumpu pada kemauan individu-individu yang berkerja dalam instansi tersebut untuk dapat merubah kebiasaan yang buruk dan mengantinya dengan penerapan etika administrasi yang baik.
Adapun tambahan dua asas yang tercantum dalam UU No. 32 / 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ketujuh asas diatas ditambah lagi dengan 2 asas yaitu Asas Efektivitas dan Asas Efisiensi.
a.    Implementasi Etika dalam Birokrasi
 Ada beberapa alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan dalam pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel, salah satunya adalah karena masalah-masalah yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah dimasa mendatang akan semakin kompleks. Dalam memecahkan masalah yang berkembang, birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan-pilihan yang jelas seperti baik dan buruk. Para pejabat birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara baik dan baik, yang masing-masing memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama lain. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam memberi “ policy guidance” kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Alasan lainnya adalah keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments agar tetap tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan untuk bisa melakukan penyesuaian itu menuntut discretionary power yang besar. Penggunaan kekuasaan direksi ini hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau birokrasi memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai besarnya kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi kepentingan masyarakatnya.
Dari alasan-alasan yang sudah diuraikan, sudah jelas bahwa etika Birokrasi sangat dibutuhkan pada saat ini mengingat di Negara kita masyarakat bergantung pula pada Birokrasi tersebut. Para Birokrat juga membutuhkan perubahan sikap perilaku agar dapat dikatakan lebih beretika di dalam melaksanakan tugasnya. Namun dengan alasan perekonomian Pegawai negeri yang minim, atau lebih tepatnya pengawasan yang tidak ketat didalam suatu birokrasi menjadi salah satu penyebab penyimpangan etika.  Salah satunya seperti bentuk korupsi, kolusi, maupun nepotisme atau yang sering kita sebut dengan KKN. Ketiganya merupakan tindakan yang menyimpang hukum dan biasanya pada kasus-kasus ini terdapat banyak penyimpangan serta penyelewengan pada law enforcement, hal ini sangat besar kemungkinan pada etika adaministrasi negara dalam revitalisasi manajemen pemerintahan dalam rangka upaya penataan ulang pemerintahan Indonesia yang tidak sesuai dengan good governance.
Pada kenyataan nya Law enforcement dalam manajemen pemerintahan di Indonesia sangat diabaikan sehingga akan sangat menjadi ancaman bagi manajemen pemerintahan dalam upaya menata ulang manajemen pemerintahan yang sehat dan dapat meminimalisir terjadinya birokatologi dan mal administrasi. Yang mana sebetulnya semua penyelewengan akan mudah diminimalisir, jika prinsip good governance ini dipegang oleh masing-masing birokrasi yang ada.

Hukum dan Etika
Terdapat hubungan anatara Hukum dengan Etika sebagai berikut :
         Keduanya mengatur perilaku individu
         Terdapat perbedaan: ilegalitas tidak selalu berarti tidak etis
         Hukum bersifat eksternal dan dapat ditegakkan tanpa melibatkan perasaan, atau kepercayaan orang (sasaran hukum), sementara etika bersifat internal, subyektif, digerakkan oleh keyakinan dan kesadaran individu
         Hukum dalam konteks administrasi adalah soal pemberian otoritas atau instrumen kekuasaan
         Basis dari hukum adalah etika, dan ketika hukum diterapkan harus dikembalikan pada prinsip-prinsip etika
         Banyak kasus, secara hukum dibenarkan tapi secara etika dipermasalahkan [trend anak politisi yang jadi calon anggota legislatif
a.       Etika Deontologi
Yaitu Menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik.
Tiga prinsip yang harus dipenuhi :
-          Supaya suatu tindakan punya nilai moral, tindakan itu harus dijalankan berdasarkan kewajiban.
-          Nilai moral dari tindakan itu tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu-berarti kalaupun tujuannya tidak tercapai, tindakan itu sudah di nilai baik.
-          Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip itu, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.
Kasus diatas ditinjau dari segi etika deontologi, jelas-jelas salah, karena kewajiban seorang jaksa adalah untuk menegakkan hukum, bukan malah mempermainkan hukum.

b.      Etika Teleologi
Yaitu mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Misalnya, mencuri bagi etika teleologi tidak dinilai baik atau buruk berdasarkan baik buruknya tindakan itu sendiri, melainkan oleh tujuan dan akibat dari tindakan itu.
Kasus diatas ditinjau dari etika teleologi tindakan jaksa tersebut juga tidak bisa dibenarkan, karena tujuannya memperkaya diri dengan cara merugikan orang lain, dan menyalahgunakan jabatannya, jelas-jelas melanggar kode etik seorang jaksa.

c.       Teori Hak
Hak merupakan milik seeorang yang harus atau wajib dipenuhi oleh pihak lain, apakah itu oleh individu ataupun oleh lembaga.
Kasus diatas ditinjau dari teori hak, hak dari jaksa Urip Tri Gunawan adalah gaji dan tunjangan lainnya yang sah sesuai dengan hukum. Jadi kasus diatas tidak bisa dibenarkan dari teori hak. Suap yang diterimanya bukan termasuk haknya, tetapi suap tersebut merupakan tindak kejahatan terhadap Negara.
Ditinjau dari sosial budaya masyarakat dari setiap daerah yang ada di negara ini bahwa tindakan jaksa tersebut tidak ada bisa memberi toleransi, semua lapisan masyarakat memandang bahwa tindakan tersebut tidak punya etika karena telah merugikan negara dan menurunkan kepercayaan masyarakat akan penegakan hukum.
Dengan demikian jelas bahwa Etika Birokrasi sangat terkait dengan perilaku dan tindakan oleh aparat birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi dan kerjanya, apakah ia menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak, untuk itu perlu aturan yang tegas dan nyata, sebab berbicara tentang Etika biasanya tidak tertulis dan sangsinya berupa sangsi sosial yang situasional dan kondisional tergantung tradisi dan kebiasaan masyarakat tersebut.
BLBI itu termasuk kejahatan korupsi, bukan kejahatan perbankan biasa karena terdapat unsur-unsur yang mendukung hal itu. Salah satunya adalah disuapnya Ketua Tim Jaksa Kasus BLBI, Urip Tri Gunawan oleh Syamsul Nursalim di kediamannya. Padahal, Syamsul Nursalim merupakan obligor dari BDNI terkait BLBI. Terlihat bahwa Syamsul menyuap Urip sebagai syarat agar kasusnya “dilepas”. Jadi, disini unsur korupsinya yaitu penyuapan.
Unsur korupsi lainnya terpenuhi, yaitu memperkaya diri sendiri. Hal ini menyebabkan negara merugi karena dana BLBI yang seharusnya dikembalikan malah hilang entah kemana dan tidak dikembalikan. Seperti tercantum dalam pasal 1 ayat (1) angka {a} yang berbunyi, “Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah: barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Suatu tindakan yang menyimpang dari nilai adalah disebabkan karena bertemunya faktor “niat atau kemauan” dan “kesempatan”. Jika ada niat untuk melakukan tindakan mal-administrasi, sementara kesempatan tidak ada, maka tindakan mal-administrasi tadi tidak akan terjadi. Sebaliknya, ada kesempatan untuk melakukan korupsi, namun pada dirinya tidak ada niat atau kemauan untuk melakukan mal-administrasi, maka tindakan mal-administrasi juga tidak akan terjadi.

Kode Etik Jaksa
Kejaksaan adalah salah satu sub sistem dalam peradilan pidana; tetapi disamping itu juga mempunyai peranan lain dalam hukum perdata dan tata usaha negara, yaitu dapat mewakili negara dan pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara, bahkan dapat mewakili kepentingan umum.
Peran yang demikian penting dalam sistem hukum Indonesia tersebut menuntut seorang jaksa tidak hanya menguasai disiplin hukum pidana, tetapi juga disiplin hukum perdata dan tata usaha negara. Jaksa tidak hanya dituntut menguasai hukum positif yang bersifat umum (lex generalis), tetapi juga yang bersifat khusus (lex specialist) yang banyak lahir akhir-akhir ini .
Peranan kejaksaan yang demikian luas tersebut bukan hanya dikenal dalam sistem hukum Indonesia, melainkan juga dikenal dibanyak negara lain khususnya di Asia-Pasific, bahkan ada yang lebih luas lagi dari pada sistem hukum kita.
Untuk melaksanakan peranan yang demikian itu tentunya diperlukan kualifikasi tertentu bagi seseorang untuk bisa mengemban tugas sebagai jaksa. Disamping kualifikasi umum (pemegang ijazah sarjana hukum), juga diperlukan kualifikasi khusus yang pada umumnya tidak dipunyai karena tidak diperoleh di perguruan tinggi hukum.

Analisa Kode Etik Jaksa
Dalam dunia kejaksaan di Indonesia terdapat lima norma kode etik profesi jaksa, yaitu:
1.      Bersedia untuk menerima kebenaran dari siapapun, menjaga diri, berani, bertanggung jawab dan dapat menjadi teladan di lingkungannya
2.      Mengamalkan dan melaksanakan pancasila serta secara aktif dan kreaatif dalam pembangunan hukum untuk mewujudkan masyarakat adil
3.      Bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada para pencari keadilan
4.      Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif dan bijaksana dalam diri, berkata dan bertingkah laku
5.      Mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara daripada kepentingan pribadi atau golongan
Dalam usaha memahami maksud yang terkandung dalam kode etik jaksa tidaklah terlalu sulit. Kata-kata yang dirangkaikan tidak rumit sehingga cukup mudah untuk dimengerti. Karena kode etik ini disusun dengan tujuan agar dapat dijalankan.
Kode etik jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain. Mengandung nilai-nilai luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila nantinya dapat dijalankan sesuai dengan tujuan akan melahirkan jaksa-jaksa yang memang mempunyai kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kehidupan peradilan di Negara kita akan mengarah pada keberhasilan.
Sebagai komponen kekuasaan eksekutif di bidang penegak hukum, adalah tepat jika setelah kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan keberadaan institusinya, sehingga dari perenungan ini, diharapkan dapat muncul kejaksaan yang berparadigma baru yang tercermin dalam sikap, pikiran dan perasaan, sehingga kejaksaan tetap mengenal jati dirinya dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara sekaligus wali masyarakat dalam bidang penegakan hukum.
Kejaksaan merupakan salah satu pilar birokrasi hukum tidak terlepas dari tuntutan masyarakat yang berperkara agar lebih menjalankan tugasnya lebih profesional dan memihak kepada kebenaran. Sepanjang yang diingat, belum pernah rasanya kejaksaan di dalam sejarahnya sedemikian merosot citranya seperti saat ini . Sorotan serta kritik-kritik tajamdari masyarakat, yang diarahkan kepadanya khususnya kepada kejaksaan, dalam waktu dekat tampaknya belum akan surut, meskipun mungkin beberapa pembenahan telah dilakukan.
Sepintas lalu, masalah yang menerpa kejaksaan mungkin disebabkan merosotnya profesionalisme di kalangan para jaksa, baik level pimpinan maupun bawahan. Keahlian, rasa tanggung jawab, dan kinerja terpaduyang merupakan ciri-ciri pokok profesionalisme tampaknya mengendur. Sebenarnya, jika pengemban profesi kurang memiliki keahlian, atau tidak mampu menjalin kerja sama dengan pihak-pihak demi kelancaran profesi atau pekerjaan harus dijalin, maka sesungguhnya profesionalisme itu sudah mati, kendatipun yang bersangkutan tetap menyebut dirinya sebagai seorang profesional.
Agar keahlian yang dimiliki seorang jaksa tidak menjadi tumpul, maka kemampuan yang sudah dimilikinya seyogianya harus selalu diasah, melalui proses pembelajaran ini hendaknya ditafsirkan secara luas, di mana seorang jaksa dapat belajar melalui pendidikan-pendidikan formal atau informal, maupun pada pengalaman-pengalaman sendiri. Karena hukum yang menjadi lahan pekerjaan jaksa merupakan sistem yang rasional, maka keahlian yang dimiliki olehnya melalui pembelajaran tersebut, harus bersifat rasional pula. Sikap ilmiah melakukan pekerjaan ditandai dengan kesediaan memperguanakan metodologi modern yang demikian, diharapkan dapat mengurangi sejauh mungkin sifat subjektif seorang jaksa terhadap perkara-perkara yang harus ditanganinya.
Kemampuan analisis yang dikembangkan bukan lagi semata-mata didasari pendekatan-pendekatan yang serba legalitas, positivis dan mekanistis. Sebab setiap perkara sekalipun tampak serupa, bagaimanapun tetap memiliki keunikan tersendiri. Sebagai penuntut, seorang jaksa dituntut untuk mampu merekosntruksi dalam pikiran peristiwa pidana yang ditanganinya. Tanpa hal itu, penanganan perkara tidaklah total, sehingga sisi-sisi yang justru penting bisa jadi malah terlewatkan. Memang bukan persoalan mudah untuk memahami sesuatu, peristiwa yang kita sendiri tidak hadir pada kejadian yang bersangkutan, apalagi jika berkas yang sampai sudah melalui tangan kedua (dengan hanya membaca berita acara pemeriksaan atau BAP dari kepolisian). Jika pada tingkat analisis telah menderita keterbatasan-keterbatasan, maka sebagai konsekuensi logisnya kebenaran yang hendak kita tegakkan tidaklah dapat diraih secara bulat. Tidak adanya faktor tunggal, menyebabkan setiap perkara memiliki keunikan sendiri.
Di dalam mengemban profesi, usaha-usaha yang dilakukan oleh jaksa bukan hanya untuk memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata, melainkan apa yang sesungguhnya benar-benar terjadi dan dirasakan langsung oleh masyarakat juga didengar dan diperjuangkan. Inilah yang dinamakan pendekatan sosioligis. Memang tidak mudah bagi jaksa untuk menangkap suara yang sejati yang muncul dari sanubari anggota masyarakat secara mayoritas. Di samping masyarakat Indonesia yang heterogen, kondisi yang melingkupinya pun sedang dalam keadaan yang tidak sepenuhnya normal.
Hal yang kerap memprihatinkan ialah rasa keadilan masyarakat atau keadilan itu sendiri, tidak dapat sepenuhnya dijangkau perangakat hukum yang ada. Pada ujungnya, keadilan itu bergantung pada aparat penegak hukum itu sendiri, bagaimana mewujudkannya secara ideal. Di sinalah maka penegak hukum itu menjadi demikian erat hubungannya dengan perilaku, khususnya aparat penegak hukum, antaralain termasuk jaksa. Hukum bukan sesuatu yang bersifat mekanistis, yang dapat berjalan sendiri. Hukum bergantung pada sikap tindak penegak hukum. Melalui aktivasi penegak hukum tersebut, hukum tertulis menjadi hidup dan memenuhi tujuan-tujuan yang dikandungnya.
Profesionalisme seorang jaksa sungguh sangat penting dan mendasar, sebab sebagaimana disebutkan di atas, bahwa antara lain di tangannyalah hukum menjadi hidup, dan karena kekuatan atau otoritas, yang dimilikinya inilah sampai-sampai muncul pertanyaan bahwa,”It doesn’t matter what the law says. What matters is what the guy behind the desk interprets the law to say” . Mungkin bagi orang yang berpikiran normatif, ungkapan ini agak berlebihan. Akan tetapi, secara sosiologis hal ini tidak dapat dimungkiri kebenarannya, bahkan beberapa pakar sosiologi hukum acap menyebutkan bahwa hukum itu tidaklain adalah perilaku pejabat-pejabat hukum.

Korupsi : Salah Satu Bentuk Kegagalan Etika
Korupsi dapat diartikan sebagai bentuk perbuatan menggunakan barang publik, bisa berupa uang dan jasa, untuk kepentingan memperkaya diri, dan bukan untuk kepentingan publik. Dilihat proses terjadinya perilaku korupsi ini dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu Graft, Bribery, dan nepotism.Graft, merupakan korupsi yang bersifat internal. Artinya korupsi yang dilakukan tanpa melihat pihak ketiga. Seperti menggunakan atau atau mengambil barang kantor, uang kantor, jabatan kantor untk kepentingan diri sendiri. Korupsi ini terjadi karena mereka mempunyai kedudukan dan jabatan di kantor tersebut. Dengan wewenangnya, para bawahan tidak dapat menolak permintaan atasannya. Menolak atau mencegah permintaan atasannya dianggap sebagai tindakan yang tidak loyal terhadap atasan. Bahkan sering terjadi, sebelum atasan minta, bawahan sudah menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh atasan. Misalnya ada seorang pejabat (di daerah) punya hajat mantu, maka segala sesuatu yang diperlukan untuk hajat tersebut telah dicukupi oleh anak buahnya, dan panitia yang dibentukpun sesuai dengan bidang kewenangan masing-masing anak buahnya. Pejabat tersebut sudah tahu “beres” segala sesuatu yang diperlukan untuk kepentingan hajat mantu tersebut. Contoh di atas, merupakan wujud dari tindakan korupsi berupa “grafrt”.
Sementara bribery (penyogokan, penyuapan), merupakan tindakan korupsi yang melibatkan orang lain diluar dirinya (instansinya). Karenanya korupsi ini sering disebut dengan korupsi yang bersifat eksternal. Artinya tindakan korupsi tadi tidak akan terjadi jika tidak ada orang lain, yang melakukan tindakan penyuapan, penyogokan terhadap dirinya. Tindakan pemberian sesuatu (prnyogokan, penyuapan, pelicin), dimaksudkan agar dapat memengaruhi objektivitas dalam membuat keputusan, atau keputusan yang dibuat akan menguntungkan pemberi, penyuap, atau penyogok. Pemberian sesuatu (penyogok, penyuap, pelicin) dapat berupa uang, materi, tapi bisa juga berupa jasa. Korupsi semacam ini sering terjadi pada dinas/instansi yang mempunyai tugas pelayanan, menerbitkan surat izin, rekomendasi, dan lain sebagainya. Pelayanan yang diberikan seringkali dihambat, tidak lancar, bukan karena sistem dan prosedurnya, tapi karena disengaja oleh oknum birokrat. Sehingga mereka yang berkepentingan, lebih suka melalui calo, atau dengan cara memberi pelicin berupa uang untuk menyuap, menyogok, agar urusannya menjadi lancar.Sedangkan nepotisme, merupakan suatu tindakan korupsi berupa kecendrungan pengambilan keputusan yang tidak berdasarkan pada pertimbangan objektif, rasional, tapi didasarkan atas pertimbangan “nepitis”, “kekerabatan”, sepeti masih teman, keluarga, golongan, pejabat, dan lain sebagainya. Pertimbangan pengambilan keputusan tadi, sering kali untuk kepentingan orang yang membuat keputusan. Mereka akan lebih aman, orang yang berada disekitarnya (anak buahnya) adalah orang-orang yang masih nepotis atau masih kerabat dekat. Jika mereka melakukan tindakan penyimpangan mereka akan aman dan dilindungi.
Korupsi di atas adalah korupsi yang dilihat dari proses terjadinya. Namun dilihatnya dari sifatnya korupsi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu korusi individualis dan korupsi sistemik.
Korupsi individualis, merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu atau beberapa orang dalam suatu organisasi dan berkembang suatu mekanisme muncul, hilang dan jika ketahuan pelaku korupsi akan terkena hukuman, bisa berupa dijauhi, dicela, disudutkan, dan bahkan diakhiri nasib kariernya. Perilaku korup ini dianggap oleh kelompok (masyarakat) sebagai tindakan yang menyimpang, buruk, dan tercela.
Korupsi sistemik, berbeda dengan korupsi individualisme. Korupsi sistemik merupakan suatu korupsi ketika yang melakukan korupsi adalah sebagian besar (kebanyakan orang) dalam suatu organisasi (melibatkan banyak orang). Dikatakan sistemik, karena tindakan korupsi ini bisa diterima sebagai sesuatu yang wajar/biasa (tidak menyimpang) oleh orang yang berada di sekitarnya dan merupakan bagian dari suatu realita. Jika ketahuan, maka diantara mereka yang terlibat saling melindungi, menutup-nutupi, dan mendukung satu sama lain untuk menyelamatkan orang yang ketahuan tadi. Hal ini disebabkan diantara mereka tidak ingin instansinya tercemar, sehingga walaupun mereka tahu ada tindakan korupsi mereka lebih baik “diam”, daripada mereka akan dikucilkan, dan menjadi saksi dalam perkara atas tindakan korupsi tadi.
Mafia peradilan yang ada di Indonesia ini sebenarnya sudah akut, jadi penangkapan Jaksa Urip merupakan salah satu kasus kecil yang ada di tubuh Kejaksaan yang terindikasi oleh mafia peradilan.
Terkuaknya kasus Jaksa Urip seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi bangsa ini, bahwa saat ini institusi yang idealnya menjadi “pencambuk para pesakitan” ternyata terjangkiti penyakit akut korupsi dan malah menjadi sarang para mafia peradilan dan koruptor kakap untuk bernegosiasi. Desakan terhadap KPK untuk meng-handle kasus BLBI memang saat ini terkendala oleh UU Tentang KPK. Namun hal tersebut masih bersifat debatable, sehingga upaya-upaya untuk mengarahkan KPK segera menangani kasus korupsi ratusan triliun tersebut bisa menuju titik terang.
Saat ini yang dibutuhkan oleh bangsa ini bukan debat tentang interpretasi UU penanganan kasus BLBI, namun itikad baik dari para negarawan untuk segera menyelesaikan kasus BLBI demi kepentingan rakyat Indonesia.
Dampak dari kasus saat penegak hukum melanggar hukum kepada masyarakat luas adalah berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di negara kita ini. Banyak masyarakat beranggapan bahwa hukum di negara ini bisa diperjual-belikan.
A.    Kejahatan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Jaksa Urip Tri Gunawan merupakan suatu tindakan yang tidak etis, dipandang dari teori etika manapun tidak bisa dibenarkan dan juga daerah/kultur/lingkungan masyarakat diseluruh Indonesia tetap tidak bisa ditolerir.
B.     Akibat dari tindakan jaksa tersebut, maka kepercayaan masyarakat akan penegakan hukum di Negara ini berkurang, masyarakat beranggapan bahwa hukum bisa diperjual-belikan.
C.     Mal-administrasi merupakan suatu tindakan yang menyimpang dari nilai etika. Secara “psiko-sosiologis”, suatu tindakan yang menyimpang dari nilai adalah disebabkan karena bertemunya faktor “niat atau kemauan” dan “kesempatan”. Jika ada niat untuk melakukan tindakan mal-administrasi, sementara kesempatan tidak ada, maka tindakan mal-administrasi tadi tidak akan terjadi. Sebaliknya, ada kesempatan untuk melakukan korupsi, namun pada dirinya tidak ada niat atau kemauan untuk melakukan mal-administrasi, maka tindakan mal-administrasi juga tidak akan terjadi.
Tidak sedikit pejabat lokal (birokrasi lokal) yang kurang memiliki akuntabilitas yang tinggi dalam melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Akibatnya birokrasi publik pada era reformasi banyak disorot publik. Sorotan itu lebih banyak tertuju pada praktek yang menyimpang (mal-administration) dari etika administrasi negara dalam menjalankan tugas dan tangguna jawabnya. Bentuk mal-administrasi dapat berupa korupsi, kolusi, nepotisme, tidak efisien, dan tidak profesional. Bentuk mal-administrasi pada umumnya lebih berkaitan dengan perilaku individu yang menduduki suatu jabatan hierarkhi, terutama pada tingkat bawah.








Post title : ANALISIS KORUPSI MENURUT HUKUM DAN MORAL
URL post : https://didiklaw.blogspot.com/2014/05/analisis-korupsi-menurut-hukum-dan-moral_4.html

0 komentar:

Show Emoticons

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n: :o: :q: :s:

Posting Komentar