ANALISIS
KORUPSI MENURUT HUKUM DAN MORAL
Istilah etika secara etimologis
berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan
atau adat kebiasaan, yang dibatasi dengan dasar nilal moral menyangkut apa yang
diperbolehkan atau tidak diperbolehkan, yang baik atau tidak baik, yang pantas
atau tidak pantas pada perilaku manusia (Ensiklopedi Nasional Indonesia,
1989:205). Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat
kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya untuk menegaskan mana yang
benar dan mana yang buruk.
Dalam
pengertiannya yang secara khusus, dikaitkan dengan seni pergaulan manusia,
etika ini digambarkan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara
sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip prinsip moral yang ada, dan pada
saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala
macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai
menyimpang dari kode etik. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan
konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah
tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.
Etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur
pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya.
Dengan
demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”,
karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan
kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana
dalam diri para elit professional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan
etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada
masyarakat yang memerlukannya.
Sedangkan
yang dimaksud dengan etika birokrasi adalah cara-cara untuk melakukan
birokrasi, yang mencakup seluruh jajaran yang berkaitan dengan individu,
perusahaan, organisasi dan juga masyarakat, termasuk penegak hukum. Kesemuanya
ini mencakup bagaimana kita menjalankan birokrasi secara adil (fairness),
sesuai dengan etika dan hukum yang berlaku (legal) tidak tergantung pada
kedudukani individu ataupun jabatan di masyarakat. Etika birokrasi akan lebih
luas dan lebih tinggi dari standar minimal bila ketentuannya diatur oleh hukum
(legal), karena dalam kegiatan birokrasi seringkali kita temukan “grey-area”
yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.
Maka
etika birokrasi peradilan bisa diartikan sebagai sistem yang berisikan
prinsip-prinsip moral atau aturan-aturan perbuatan yang mengendalikan atau
mempengaruhi kebiasaan pejabat hukum dalam menjalankan sistem peradilan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan berpegang pada
nilai-nilai, seperti: jujur, adil, tepat janji, taat aturan, tanggung jawab,
responsif, hati-hati, dan sopan santun.
Fungsi
Etika Birokrasi
Etika
sangat erat fungsinya dan menyatu dengan kegiatan pembangunan. Apa saja yang
dilakukan demi mencapai taraf hidup yang lebih baik, peranan etika sangat
berfungsi. Sistem dan prosedur yang berlaku dalam pembangunan, sarat dengan
nilai-nilai moral yang harus dipegang teguh oleh mereka yang terlibat dalam
pembangunan. Apa yang kita laksanakan dalam pembangunan pada hakekatnya adalah
dari, oleh, dan untuk manusia atau 'people centered development'. Dalam rumusan
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) disebut pembangunan manusia se-utuhnya
dan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Dan
dalam hal pemilihan nilai-nilai etika penyelenggara negara, perlu ditetapkan
nilai-nilai etika yang akan dilaksanakan oleh seluruh penyelenggara negara
sesuai dengan harapan rakyat dan pemerintah serta dapat dilaksanakan. Agar
nilai-nilai etika birokrasi dapat dilaksanakan dengan baik maka diperlukan
payung hukum yang menjadi acuan seluruh aturan etika di bawahnya, dan aturan
yang sudah ada perlu diharmonisasi atau diubah.
Latar Belakang Masalah
Berbicara
tentang Etika Birokrasi dewasa ini menjadi topik yang sangat menarik dibahas,
terutama dalam mewujudkan penegakan hukum yang adil dan bersih. Kecenderungan
atau gejala yang timbul dewasa ini banyak penegak hukum dalam pelaksanaan
tugasnya sering melanggar aturan main yang telah ditetapkan. Etika penegak
hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat terkait dengan moralitas dan
mentalitas aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas-tugas peradilan itu
sendiri yang tercermin lewat fungsi pokok penegak hukum, yaitu fungsi
menegakkan keadilan dalam masyarakat. Jadi berbicara tentang Etika Birokrasi
berarti kita berbicara tentang bagaimana aparat Birokrasi tersebut dalam
melaksanakan fungsi tugasnya sesuai dengan ketentuan aturan yang seharusnya dan
semestinya, yang pantas untuk dilakukan dan yang sewajarnya dimana telah
ditentukan atau diatur untuk ditaati dilaksanakan.
Harapan
masyarakat untuk memiliki pemerintahan yang adil, baik, peduli, melayani, dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat, masih jauh dari realitas. Masuknya
orang-orang baru dalam pemerintahan (reformasi), baik di legislatif, eksekutif
maupun yudikatif, dirasa masih belum mampu menciptakan perbaikan nyata kinerja
pemerintahan.
Kinerja
birokrasi penegakan hukum menjadi isu yang strategis, karena memiliki implikasi
yang luas dalam kehidupan masyarakat agar semua bisa tertib. Salah satu upaya
pembenahan birokrasi dan manajemen Pemerintah sebagai fasilitator keadilan
adalah perubahan mindset sumber daya manusia (SDM) dari pola pikir yang selalu
ingin dilayani menjadi pola pikir wirausahawan yang melayani konsumen yaitu
masyarakat.
Dalam
kesempatan ini kita mengangkat salah satu contoh pejabat penegak hukum yang menggar etika untuk
dibahas dalam makalah ini yaitu seorang jaksa yang melanggar kode etik sebagai
penegak hukum (mafia hukum), terkait kasus suap oleh koruptor.
2. Landasan Teoritis
Tugas dari suatu Birokrasi salah satunya
harus sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, tugas Pegawai
Negeri, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur,
adil, dan merata, menyelenggarakan tugas negara, menyelenggarakan tugas
pemerintahan, dan menyelenggarakan tugas pembangunan. Dalam undang-undang
tersebut juga ditegaskan bahwa pegawai negeri harus bebas dari pengaruh golongan
dan partai politik.
Etika
Birokrasi telah termuat dalam peraturan Kepegawaian yang mengatur para aparat
Birokrasi (Pegawai negeri) itu sendiri, yang mana kita tahu bahwa Birokrasi
merupakan sebuah organisasi penyelenggara pemerintahan yang terstruktur dari
pusat sampai kedaerah dan memiliki jenjang atau tingkatan yang disebut hirarki.
Jadi Etika Birokrasi sangat terkait dengan tingkah laku para aparat birokrasi
itu sendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Aparat Birokrasi secara
kongkrit di negara kita yaitu Pegawai Negeri baik itu Sipil maupun Militer,
yang secara Organisatoris dan hirarkis melaksanakan tugas dan fungsi
masing-masing sesuai aturan yang telah ditentukan. Etika Birokrasi merupakan
bagian dari aturan main dalam organisasi Birokrasi atau Pegawai Negeri yang
secara structural telah diatur aturan mainnya, dimana kita kenal sebagai Kode
Etik Pegawai Negeri, yang telah diatur lewat Undang-undang Kepegawaian. Kode
Etik yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut Sapta Prasetya Korps
Pegawai Republik Indonesia (Sapta Prasetya KORPRI) dan dikalangan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) disebut Sapta Marga dan dikejaksaan disebut dengan
Korps Adhyaksa. Menanamkan Kode Etik tersebut adalah demi terciptanya Aparat
Birokrasi lebih jujur, lebih bertanggung jawab, lebih berdisiplin, dan lebih
rajin serta yang terpenting lebih memiliki moral yang baik terhindar dari
perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan lain-lain. Agar
tercipta Aparat Birokrasi yang lebih beretika sesuai harapan di atas, maka
perlu usaha dan latihan ke arah itu serta penegakkan sangsi yang tegas dan
jelas kepada mereka yang melanggar kode Etik atau aturan yang telah ditetapkan.
Perilaku
birokrasi terbentuk dari interaksi antara dua variabel, yaitu karakteristik
birokrasi dan karakteristik manusia, atau lebih spesifi lagi, struktur dan
aktor. Antara karakteristik itu dengan perilaku terdapat hubungan yang sedikit
banyak bersifat kausal. Misalnya pada variabel organisasi, hierarki menimbulkan
sifat taat bawahan terhadap atasan. Pada variabel manusia, kepentingan atau
kebutuhan hidup menuntut imbalan yang memadai dari organisasi. Perilaku
birokrasi jauh berbeda jika dipahami dalam hubungan pemerintahan. Hubungan
birokratik tidak sama dengan hubungan pemerintahan. Ketika Birokrasi
Pemerintahan bertindak keluar, terjadilah hubungan birokratik pemerintahan,
tetapi hubungan ini tidak identik dan tidak analog dengan hubungan birokratik.
Dalam banyak hal, yang diperintah dan manusia bukanlah bawahan pemerintah.
Bahkan pada saat rakyat berfungsi sebagai pemegang kedaulatan, pemerintah
berada di bawahnya. Jika dilihat kondisi Indonesia pada saat ini, melalui
fakta-fakta yang ada, saat ini masih banyak instansi-instansi pemerintah yang
belum mampu menerapkan prinsip etika administrasi yang baik, sekali lagi hal
ini tertumpu pada kemauan individu-individu yang berkerja dalam instansi
tersebut untuk dapat merubah kebiasaan yang buruk dan mengantinya dengan
penerapan etika administrasi yang baik.
Adapun
tambahan dua asas yang tercantum dalam UU No. 32 / 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, ketujuh asas diatas ditambah lagi dengan 2 asas yaitu Asas Efektivitas
dan Asas Efisiensi.
a. Implementasi Etika dalam Birokrasi
Ada beberapa alasan mengapa Etika Birokrasi
penting diperhatikan dalam pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan
akuntabel, salah satunya adalah karena masalah-masalah yang dihadapi oleh
birokrasi pemerintah dimasa mendatang akan semakin kompleks. Dalam memecahkan
masalah yang berkembang, birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada
pilihan-pilihan yang jelas seperti baik dan buruk. Para pejabat birokrasi
seringkali tidak dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara baik dan baik, yang
masing-masing memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama lain.
Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam memberi “
policy guidance” kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan masalah-masalah
yang dihadapinya.
Alasan
lainnya adalah keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan
kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam
lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments
agar tetap tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan
untuk bisa melakukan penyesuaian itu menuntut discretionary power yang besar.
Penggunaan kekuasaan direksi ini hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau
birokrasi memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai besarnya
kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi
kepentingan masyarakatnya.
Dari
alasan-alasan yang sudah diuraikan, sudah jelas bahwa etika Birokrasi sangat
dibutuhkan pada saat ini mengingat di Negara kita masyarakat bergantung pula
pada Birokrasi tersebut. Para Birokrat juga membutuhkan perubahan sikap
perilaku agar dapat dikatakan lebih beretika di dalam melaksanakan tugasnya.
Namun dengan alasan perekonomian Pegawai negeri yang minim, atau lebih tepatnya
pengawasan yang tidak ketat didalam suatu birokrasi menjadi salah satu penyebab
penyimpangan etika. Salah satunya
seperti bentuk korupsi, kolusi, maupun nepotisme atau yang sering kita sebut
dengan KKN. Ketiganya merupakan tindakan yang menyimpang hukum dan biasanya
pada kasus-kasus ini terdapat banyak penyimpangan serta penyelewengan pada law
enforcement, hal ini sangat besar kemungkinan pada etika adaministrasi negara
dalam revitalisasi manajemen pemerintahan dalam rangka upaya penataan ulang
pemerintahan Indonesia yang tidak sesuai dengan good governance.
Pada
kenyataan nya Law enforcement dalam manajemen pemerintahan di Indonesia sangat
diabaikan sehingga akan sangat menjadi ancaman bagi manajemen pemerintahan
dalam upaya menata ulang manajemen pemerintahan yang sehat dan dapat
meminimalisir terjadinya birokatologi dan mal administrasi. Yang mana
sebetulnya semua penyelewengan akan mudah diminimalisir, jika prinsip good
governance ini dipegang oleh masing-masing birokrasi yang ada.
Hukum
dan Etika
Terdapat
hubungan anatara Hukum dengan Etika sebagai berikut :
• Keduanya mengatur perilaku individu
• Terdapat perbedaan: ilegalitas tidak
selalu berarti tidak etis
• Hukum bersifat eksternal dan dapat
ditegakkan tanpa melibatkan perasaan, atau kepercayaan orang (sasaran hukum),
sementara etika bersifat internal, subyektif, digerakkan oleh keyakinan dan
kesadaran individu
• Hukum dalam konteks administrasi
adalah soal pemberian otoritas atau instrumen kekuasaan
• Basis dari hukum adalah etika, dan
ketika hukum diterapkan harus dikembalikan pada prinsip-prinsip etika
• Banyak kasus, secara hukum dibenarkan
tapi secara etika dipermasalahkan [trend anak politisi yang jadi calon anggota
legislatif
a. Etika Deontologi
Yaitu
Menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik.
Tiga
prinsip yang harus dipenuhi :
- Supaya suatu tindakan punya nilai
moral, tindakan itu harus dijalankan berdasarkan kewajiban.
- Nilai moral dari tindakan itu tidak
tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu melainkan tergantung pada
kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu-berarti
kalaupun tujuannya tidak tercapai, tindakan itu sudah di nilai baik.
- Sebagai konsekuensi dari kedua
prinsip itu, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan yang dilakukan
berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.
Kasus
diatas ditinjau dari segi etika deontologi, jelas-jelas salah, karena kewajiban
seorang jaksa adalah untuk menegakkan hukum, bukan malah mempermainkan hukum.
b. Etika Teleologi
Yaitu
mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai
dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan
itu. Misalnya, mencuri bagi etika teleologi tidak dinilai baik atau buruk
berdasarkan baik buruknya tindakan itu sendiri, melainkan oleh tujuan dan
akibat dari tindakan itu.
Kasus
diatas ditinjau dari etika teleologi tindakan jaksa tersebut juga tidak bisa
dibenarkan, karena tujuannya memperkaya diri dengan cara merugikan orang lain,
dan menyalahgunakan jabatannya, jelas-jelas melanggar kode etik seorang jaksa.
c. Teori Hak
Hak
merupakan milik seeorang yang harus atau wajib dipenuhi oleh pihak lain, apakah
itu oleh individu ataupun oleh lembaga.
Kasus
diatas ditinjau dari teori hak, hak dari jaksa Urip Tri Gunawan adalah gaji dan
tunjangan lainnya yang sah sesuai dengan hukum. Jadi kasus diatas tidak bisa
dibenarkan dari teori hak. Suap yang diterimanya bukan termasuk haknya, tetapi
suap tersebut merupakan tindak kejahatan terhadap Negara.
Ditinjau
dari sosial budaya masyarakat dari setiap daerah yang ada di negara ini bahwa
tindakan jaksa tersebut tidak ada bisa memberi toleransi, semua lapisan
masyarakat memandang bahwa tindakan tersebut tidak punya etika karena telah
merugikan negara dan menurunkan kepercayaan masyarakat akan penegakan hukum.
Dengan
demikian jelas bahwa Etika Birokrasi sangat terkait dengan perilaku dan
tindakan oleh aparat birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi dan kerjanya,
apakah ia menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak, untuk itu perlu
aturan yang tegas dan nyata, sebab berbicara tentang Etika biasanya tidak
tertulis dan sangsinya berupa sangsi sosial yang situasional dan kondisional
tergantung tradisi dan kebiasaan masyarakat tersebut.
BLBI
itu termasuk kejahatan korupsi, bukan kejahatan perbankan biasa karena terdapat
unsur-unsur yang mendukung hal itu. Salah satunya adalah disuapnya Ketua Tim
Jaksa Kasus BLBI, Urip Tri Gunawan oleh Syamsul Nursalim di kediamannya.
Padahal, Syamsul Nursalim merupakan obligor dari BDNI terkait BLBI. Terlihat
bahwa Syamsul menyuap Urip sebagai syarat agar kasusnya “dilepas”. Jadi, disini
unsur korupsinya yaitu penyuapan.
Unsur
korupsi lainnya terpenuhi, yaitu memperkaya diri sendiri. Hal ini menyebabkan
negara merugi karena dana BLBI yang seharusnya dikembalikan malah hilang entah
kemana dan tidak dikembalikan. Seperti tercantum dalam pasal 1 ayat (1) angka
{a} yang berbunyi, “Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah: barangsiapa
dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut
disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara”.
Suatu
tindakan yang menyimpang dari nilai adalah disebabkan karena bertemunya faktor
“niat atau kemauan” dan “kesempatan”. Jika ada niat untuk melakukan tindakan
mal-administrasi, sementara kesempatan tidak ada, maka tindakan
mal-administrasi tadi tidak akan terjadi. Sebaliknya, ada kesempatan untuk
melakukan korupsi, namun pada dirinya tidak ada niat atau kemauan untuk
melakukan mal-administrasi, maka tindakan mal-administrasi juga tidak akan
terjadi.
Kode
Etik Jaksa
Kejaksaan
adalah salah satu sub sistem dalam peradilan pidana; tetapi disamping itu juga
mempunyai peranan lain dalam hukum perdata dan tata usaha negara, yaitu dapat
mewakili negara dan pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara,
bahkan dapat mewakili kepentingan umum.
Peran
yang demikian penting dalam sistem hukum Indonesia tersebut menuntut seorang
jaksa tidak hanya menguasai disiplin hukum pidana, tetapi juga disiplin hukum
perdata dan tata usaha negara. Jaksa tidak hanya dituntut menguasai hukum
positif yang bersifat umum (lex generalis), tetapi juga yang bersifat khusus
(lex specialist) yang banyak lahir akhir-akhir ini .
Peranan
kejaksaan yang demikian luas tersebut bukan hanya dikenal dalam sistem hukum
Indonesia, melainkan juga dikenal dibanyak negara lain khususnya di
Asia-Pasific, bahkan ada yang lebih luas lagi dari pada sistem hukum kita.
Untuk
melaksanakan peranan yang demikian itu tentunya diperlukan kualifikasi tertentu
bagi seseorang untuk bisa mengemban tugas sebagai jaksa. Disamping kualifikasi
umum (pemegang ijazah sarjana hukum), juga diperlukan kualifikasi khusus yang
pada umumnya tidak dipunyai karena tidak diperoleh di perguruan tinggi hukum.
Analisa
Kode Etik Jaksa
Dalam
dunia kejaksaan di Indonesia terdapat lima norma kode etik profesi jaksa,
yaitu:
1. Bersedia untuk menerima kebenaran dari
siapapun, menjaga diri, berani, bertanggung jawab dan dapat menjadi teladan di
lingkungannya
2.
Mengamalkan dan melaksanakan
pancasila serta secara aktif dan kreaatif dalam pembangunan hukum untuk
mewujudkan masyarakat adil
3. Bersikap adil dalam memberikan pelayanan
kepada para pencari keadilan
4. Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia,
jujur, arif dan bijaksana dalam diri, berkata dan bertingkah laku
5. Mengutamakan kepentingan bangsa dan
Negara daripada kepentingan pribadi atau golongan
Dalam
usaha memahami maksud yang terkandung dalam kode etik jaksa tidaklah terlalu
sulit. Kata-kata yang dirangkaikan tidak rumit sehingga cukup mudah untuk
dimengerti. Karena kode etik ini disusun dengan tujuan agar dapat dijalankan.
Kode
etik jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain. Mengandung nilai-nilai
luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila
nantinya dapat dijalankan sesuai dengan tujuan akan melahirkan jaksa-jaksa yang
memang mempunyai kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga
kehidupan peradilan di Negara kita akan mengarah pada keberhasilan.
Sebagai
komponen kekuasaan eksekutif di bidang penegak hukum, adalah tepat jika setelah
kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan keberadaan institusinya,
sehingga dari perenungan ini, diharapkan dapat muncul kejaksaan yang berparadigma
baru yang tercermin dalam sikap, pikiran dan perasaan, sehingga kejaksaan tetap
mengenal jati dirinya dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara
sekaligus wali masyarakat dalam bidang penegakan hukum.
Kejaksaan
merupakan salah satu pilar birokrasi hukum tidak terlepas dari tuntutan
masyarakat yang berperkara agar lebih menjalankan tugasnya lebih profesional
dan memihak kepada kebenaran. Sepanjang yang diingat, belum pernah rasanya
kejaksaan di dalam sejarahnya sedemikian merosot citranya seperti saat ini .
Sorotan serta kritik-kritik tajamdari masyarakat, yang diarahkan kepadanya
khususnya kepada kejaksaan, dalam waktu dekat tampaknya belum akan surut,
meskipun mungkin beberapa pembenahan telah dilakukan.
Sepintas
lalu, masalah yang menerpa kejaksaan mungkin disebabkan merosotnya
profesionalisme di kalangan para jaksa, baik level pimpinan maupun bawahan.
Keahlian, rasa tanggung jawab, dan kinerja terpaduyang merupakan ciri-ciri
pokok profesionalisme tampaknya mengendur. Sebenarnya, jika pengemban profesi
kurang memiliki keahlian, atau tidak mampu menjalin kerja sama dengan
pihak-pihak demi kelancaran profesi atau pekerjaan harus dijalin, maka
sesungguhnya profesionalisme itu sudah mati, kendatipun yang bersangkutan tetap
menyebut dirinya sebagai seorang profesional.
Agar
keahlian yang dimiliki seorang jaksa tidak menjadi tumpul, maka kemampuan yang
sudah dimilikinya seyogianya harus selalu diasah, melalui proses pembelajaran
ini hendaknya ditafsirkan secara luas, di mana seorang jaksa dapat belajar
melalui pendidikan-pendidikan formal atau informal, maupun pada
pengalaman-pengalaman sendiri. Karena hukum yang menjadi lahan pekerjaan jaksa
merupakan sistem yang rasional, maka keahlian yang dimiliki olehnya melalui
pembelajaran tersebut, harus bersifat rasional pula. Sikap ilmiah melakukan
pekerjaan ditandai dengan kesediaan memperguanakan metodologi modern yang
demikian, diharapkan dapat mengurangi sejauh mungkin sifat subjektif seorang
jaksa terhadap perkara-perkara yang harus ditanganinya.
Kemampuan
analisis yang dikembangkan bukan lagi semata-mata didasari
pendekatan-pendekatan yang serba legalitas, positivis dan mekanistis. Sebab
setiap perkara sekalipun tampak serupa, bagaimanapun tetap memiliki keunikan
tersendiri. Sebagai penuntut, seorang jaksa dituntut untuk mampu merekosntruksi
dalam pikiran peristiwa pidana yang ditanganinya. Tanpa hal itu, penanganan
perkara tidaklah total, sehingga sisi-sisi yang justru penting bisa jadi malah
terlewatkan. Memang bukan persoalan mudah untuk memahami sesuatu, peristiwa
yang kita sendiri tidak hadir pada kejadian yang bersangkutan, apalagi jika
berkas yang sampai sudah melalui tangan kedua (dengan hanya membaca berita
acara pemeriksaan atau BAP dari kepolisian). Jika pada tingkat analisis telah
menderita keterbatasan-keterbatasan, maka sebagai konsekuensi logisnya
kebenaran yang hendak kita tegakkan tidaklah dapat diraih secara bulat. Tidak
adanya faktor tunggal, menyebabkan setiap perkara memiliki keunikan sendiri.
Di
dalam mengemban profesi, usaha-usaha yang dilakukan oleh jaksa bukan hanya
untuk memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata,
melainkan apa yang sesungguhnya benar-benar terjadi dan dirasakan langsung oleh
masyarakat juga didengar dan diperjuangkan. Inilah yang dinamakan pendekatan
sosioligis. Memang tidak mudah bagi jaksa untuk menangkap suara yang sejati
yang muncul dari sanubari anggota masyarakat secara mayoritas. Di samping
masyarakat Indonesia yang heterogen, kondisi yang melingkupinya pun sedang
dalam keadaan yang tidak sepenuhnya normal.
Hal
yang kerap memprihatinkan ialah rasa keadilan masyarakat atau keadilan itu
sendiri, tidak dapat sepenuhnya dijangkau perangakat hukum yang ada. Pada
ujungnya, keadilan itu bergantung pada aparat penegak hukum itu sendiri, bagaimana
mewujudkannya secara ideal. Di sinalah maka penegak hukum itu menjadi demikian
erat hubungannya dengan perilaku, khususnya aparat penegak hukum, antaralain
termasuk jaksa. Hukum bukan sesuatu yang bersifat mekanistis, yang dapat
berjalan sendiri. Hukum bergantung pada sikap tindak penegak hukum. Melalui
aktivasi penegak hukum tersebut, hukum tertulis menjadi hidup dan memenuhi
tujuan-tujuan yang dikandungnya.
Profesionalisme
seorang jaksa sungguh sangat penting dan mendasar, sebab sebagaimana disebutkan
di atas, bahwa antara lain di tangannyalah hukum menjadi hidup, dan karena
kekuatan atau otoritas, yang dimilikinya inilah sampai-sampai muncul pertanyaan
bahwa,”It doesn’t matter what the law says. What matters is what the guy behind
the desk interprets the law to say” . Mungkin bagi orang yang berpikiran
normatif, ungkapan ini agak berlebihan. Akan tetapi, secara sosiologis hal ini
tidak dapat dimungkiri kebenarannya, bahkan beberapa pakar sosiologi hukum acap
menyebutkan bahwa hukum itu tidaklain adalah perilaku pejabat-pejabat hukum.
Korupsi
: Salah Satu Bentuk Kegagalan Etika
Korupsi
dapat diartikan sebagai bentuk perbuatan menggunakan barang publik, bisa berupa
uang dan jasa, untuk kepentingan memperkaya diri, dan bukan untuk kepentingan
publik. Dilihat proses terjadinya perilaku korupsi ini dapat dibedakan ke dalam
tiga bentuk, yaitu Graft, Bribery, dan nepotism.Graft, merupakan korupsi yang
bersifat internal. Artinya korupsi yang dilakukan tanpa melihat pihak ketiga.
Seperti menggunakan atau atau mengambil barang kantor, uang kantor, jabatan
kantor untk kepentingan diri sendiri. Korupsi ini terjadi karena mereka
mempunyai kedudukan dan jabatan di kantor tersebut. Dengan wewenangnya, para
bawahan tidak dapat menolak permintaan atasannya. Menolak atau mencegah
permintaan atasannya dianggap sebagai tindakan yang tidak loyal terhadap
atasan. Bahkan sering terjadi, sebelum atasan minta, bawahan sudah menyiapkan
segala sesuatu yang dibutuhkan oleh atasan. Misalnya ada seorang pejabat (di
daerah) punya hajat mantu, maka segala sesuatu yang diperlukan untuk hajat
tersebut telah dicukupi oleh anak buahnya, dan panitia yang dibentukpun sesuai
dengan bidang kewenangan masing-masing anak buahnya. Pejabat tersebut sudah
tahu “beres” segala sesuatu yang diperlukan untuk kepentingan hajat mantu
tersebut. Contoh di atas, merupakan wujud dari tindakan korupsi berupa
“grafrt”.
Sementara
bribery (penyogokan, penyuapan), merupakan tindakan korupsi yang melibatkan
orang lain diluar dirinya (instansinya). Karenanya korupsi ini sering disebut
dengan korupsi yang bersifat eksternal. Artinya tindakan korupsi tadi tidak
akan terjadi jika tidak ada orang lain, yang melakukan tindakan penyuapan,
penyogokan terhadap dirinya. Tindakan pemberian sesuatu (prnyogokan, penyuapan,
pelicin), dimaksudkan agar dapat memengaruhi objektivitas dalam membuat
keputusan, atau keputusan yang dibuat akan menguntungkan pemberi, penyuap, atau
penyogok. Pemberian sesuatu (penyogok, penyuap, pelicin) dapat berupa uang,
materi, tapi bisa juga berupa jasa. Korupsi semacam ini sering terjadi pada
dinas/instansi yang mempunyai tugas pelayanan, menerbitkan surat izin,
rekomendasi, dan lain sebagainya. Pelayanan yang diberikan seringkali dihambat,
tidak lancar, bukan karena sistem dan prosedurnya, tapi karena disengaja oleh
oknum birokrat. Sehingga mereka yang berkepentingan, lebih suka melalui calo,
atau dengan cara memberi pelicin berupa uang untuk menyuap, menyogok, agar
urusannya menjadi lancar.Sedangkan nepotisme, merupakan suatu tindakan korupsi
berupa kecendrungan pengambilan keputusan yang tidak berdasarkan pada
pertimbangan objektif, rasional, tapi didasarkan atas pertimbangan “nepitis”,
“kekerabatan”, sepeti masih teman, keluarga, golongan, pejabat, dan lain
sebagainya. Pertimbangan pengambilan keputusan tadi, sering kali untuk
kepentingan orang yang membuat keputusan. Mereka akan lebih aman, orang yang
berada disekitarnya (anak buahnya) adalah orang-orang yang masih nepotis atau
masih kerabat dekat. Jika mereka melakukan tindakan penyimpangan mereka akan
aman dan dilindungi.
Korupsi
di atas adalah korupsi yang dilihat dari proses terjadinya. Namun dilihatnya
dari sifatnya korupsi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu korusi
individualis dan korupsi sistemik.
Korupsi
individualis, merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu atau
beberapa orang dalam suatu organisasi dan berkembang suatu mekanisme muncul,
hilang dan jika ketahuan pelaku korupsi akan terkena hukuman, bisa berupa
dijauhi, dicela, disudutkan, dan bahkan diakhiri nasib kariernya. Perilaku
korup ini dianggap oleh kelompok (masyarakat) sebagai tindakan yang menyimpang,
buruk, dan tercela.
Korupsi
sistemik, berbeda dengan korupsi individualisme. Korupsi sistemik merupakan
suatu korupsi ketika yang melakukan korupsi adalah sebagian besar (kebanyakan
orang) dalam suatu organisasi (melibatkan banyak orang). Dikatakan sistemik,
karena tindakan korupsi ini bisa diterima sebagai sesuatu yang wajar/biasa
(tidak menyimpang) oleh orang yang berada di sekitarnya dan merupakan bagian
dari suatu realita. Jika ketahuan, maka diantara mereka yang terlibat saling
melindungi, menutup-nutupi, dan mendukung satu sama lain untuk menyelamatkan
orang yang ketahuan tadi. Hal ini disebabkan diantara mereka tidak ingin
instansinya tercemar, sehingga walaupun mereka tahu ada tindakan korupsi mereka
lebih baik “diam”, daripada mereka akan dikucilkan, dan menjadi saksi dalam
perkara atas tindakan korupsi tadi.
Mafia
peradilan yang ada di Indonesia ini sebenarnya sudah akut, jadi penangkapan
Jaksa Urip merupakan salah satu kasus kecil yang ada di tubuh Kejaksaan yang
terindikasi oleh mafia peradilan.
Terkuaknya
kasus Jaksa Urip seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi bangsa ini, bahwa saat
ini institusi yang idealnya menjadi “pencambuk para pesakitan” ternyata
terjangkiti penyakit akut korupsi dan malah menjadi sarang para mafia peradilan
dan koruptor kakap untuk bernegosiasi. Desakan terhadap KPK untuk meng-handle
kasus BLBI memang saat ini terkendala oleh UU Tentang KPK. Namun hal tersebut
masih bersifat debatable, sehingga upaya-upaya untuk mengarahkan KPK segera
menangani kasus korupsi ratusan triliun tersebut bisa menuju titik terang.
Saat
ini yang dibutuhkan oleh bangsa ini bukan debat tentang interpretasi UU
penanganan kasus BLBI, namun itikad baik dari para negarawan untuk segera
menyelesaikan kasus BLBI demi kepentingan rakyat Indonesia.
Dampak
dari kasus saat penegak hukum melanggar hukum kepada masyarakat luas adalah
berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di negara kita
ini. Banyak masyarakat beranggapan bahwa hukum di negara ini bisa
diperjual-belikan.
A. Kejahatan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh Jaksa Urip Tri Gunawan merupakan suatu tindakan yang tidak etis,
dipandang dari teori etika manapun tidak bisa dibenarkan dan juga
daerah/kultur/lingkungan masyarakat diseluruh Indonesia tetap tidak bisa
ditolerir.
B. Akibat dari tindakan jaksa tersebut, maka
kepercayaan masyarakat akan penegakan hukum di Negara ini berkurang, masyarakat
beranggapan bahwa hukum bisa diperjual-belikan.
C. Mal-administrasi merupakan suatu tindakan
yang menyimpang dari nilai etika. Secara “psiko-sosiologis”, suatu tindakan
yang menyimpang dari nilai adalah disebabkan karena bertemunya faktor “niat atau
kemauan” dan “kesempatan”. Jika ada niat untuk melakukan tindakan
mal-administrasi, sementara kesempatan tidak ada, maka tindakan
mal-administrasi tadi tidak akan terjadi. Sebaliknya, ada kesempatan untuk
melakukan korupsi, namun pada dirinya tidak ada niat atau kemauan untuk
melakukan mal-administrasi, maka tindakan mal-administrasi juga tidak akan
terjadi.
Tidak
sedikit pejabat lokal (birokrasi lokal) yang kurang memiliki akuntabilitas yang
tinggi dalam melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya. Akibatnya birokrasi publik pada era reformasi banyak disorot publik.
Sorotan itu lebih banyak tertuju pada praktek yang menyimpang
(mal-administration) dari etika administrasi negara dalam menjalankan tugas dan
tangguna jawabnya. Bentuk mal-administrasi dapat berupa korupsi, kolusi,
nepotisme, tidak efisien, dan tidak profesional. Bentuk mal-administrasi pada
umumnya lebih berkaitan dengan perilaku individu yang menduduki suatu jabatan
hierarkhi, terutama pada tingkat bawah.
Post title : ANALISIS KORUPSI MENURUT HUKUM DAN MORAL
URL post : https://didiklaw.blogspot.com/2014/05/analisis-korupsi-menurut-hukum-dan-moral_4.html
URL post : https://didiklaw.blogspot.com/2014/05/analisis-korupsi-menurut-hukum-dan-moral_4.html
0 komentar:
Show Emoticons
Posting Komentar