Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah memberikan kesehatan kepada kita. Sholawat serta salam semoga
senantiasa tercurah kepada Baginda Rasullullah Muhammad SAW beserta keluarga,
para sahabat dan umatnya, Amin.
Alhamdulillah Penulis dapat menyelesaikan tugas dari dosen
pengampu mata kuliah Ekonomi Islam.
dengan judul “Sistem Ekonomi Islam,Kendala
Penerapan Serta Perbedaan Terhadap Sistem Ekonomi Konvensional ”.
Makalah ini disusun berdasarkan apa yang Penulis dapat
dari dosen pengampu mata kuliah kerja
lapangan dan sumber–sumber literatur lain yang relevan. Namun demikian
Penulis menyadari jika adanya kekurangan–kekurangan di dalam makalah ini dan
oleh karena kekurangan itu untuk dapat terlengkapi melalui diskusi serta
bimbingan dan arahan dari dosen pengampu.
Cukup sekian yang dapat Penulis ungkapkan dalam kata
pengantar ini, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Demikian dan terima kasih.
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I : PENDAHULUAN
1. Latar Belakang 1
2. Perumusan Masalah 3
3. Tujuan 3
BAB II : PEMBAHASAN
A. Sistem Ekonomi Islam 8
B. Kendala Penerapan Sistem Ekonomi 9
C.
Sistem Ekonomi
Islam VS Konvensional 11
BAB
III : PENUTUP
A.
Simpulan
13
Daftar Pustaka 14
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem ekonomi Islam jika diterjemahkan ke bahasa arab
akan menjadi an nizhôm al iqtishâd al islâmy. Secara harfiah al iqtishâd
(ekonomi) berarti qashada: bertujuan dalam suatu perkara, tidak berlebihan,
berhemat dalam membelanjakan uang atau tidak boros sebagaimana tertera di buku
Lisanul Arab milik Ibnu Manzur. Adapun secara terminologi berarti ilmu yang
mempelajari tentang segala sesuatu yang diturunkan oleh syariat Islam
sehubungan dengan al iqtishâd dalam 3 permasalahannya: aqidah, fiqh dan akhlaq.
Dengan bahasa lain bahwasanya istilah ekonomi Islam
berarti analisa tentang hal-hal seputar ekonomi yang berasaskan hukum-hukum
syariah. Sebagaimana ketika istilah ekonomi ini disandingkan dengan fiqh akan
mengandung analisa perkara perkonomian ditinjau dari segi-segi fiqhnya.
Adapun istilah ekonomi Islam sendiri belum muncul pada
zaman Rasul, melainkan baru ada pada akhir dari abad ke-14 hijriah. Tetapi
meskipun begitu substansi dari istilah tersebut sudah muncul bersamaan dengan
tumbuhnya hukum-hukum Islam. Jadi sistem perkonomian pada zaman ini walau tidak
mengenal istilahnya secara terminologi, tetapi pada prakteknya fokus mereka
sudah tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan
kebebasan. Fokus-fokus tadi merupakan gambaran spirit dan objek utama dari
pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal.
Perkembangan selanjutnya dari ekonomi Islam ini
kemudian tidak jauh dari sejarah perkembangan fiqh itu sendiriHal itu tidak
lain karena asas dari ekonomi Islam adalah mu’amalah yang disyariahkan dalam
Qur’an dan Sunnah. Tetapi yang perlu dicatat adalah beberapa buku yang memuat
tentang perkonomian sebelum Islam masuk ke periode stagnansi sudah banyak
dikarang oleh para ulama.
B. Perumusan
Masalah
1.
Bagaimana Sistem
dari Ekonomi Islam?
2.
Bagaimana
Kendala Penerapan Sistem Ekonomi Islam?
3.
BAgaimana
Perbedaan Ekonomi islam VS Konvensional?
C. Tujuan
Pembahasan
1.
Agar Mengetahui
Sistem Berjalanya Ekonomi Islam.
2.
Agar Mengetahui
Kendala Penerapan Sistem Ekonomi Islam.
3.
Agar Mengetahui
Perbedaan Sistem Ekonomi islam dan konvensional.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistem
Ekonomi Islam
Maksud penciptaan manusia memang tidak lain untuk
beribadah kepada Sang Pencipta, sebagai mana juga dieperintahkan untuk
memakmurkan bumiNya dengan adil. Maka dari itu Allah telah menyiapkan bumi ini
agar bisa dimanfaatkan dan menjadikan manusia sebagai pemimpin di atas bumi itu
agar dapat memanfaatkan segala yang ada. Dari prinsip penciptaan dan konsep
kepemimpinan manusia di atas bumi setidaknya bisa ditarik benang merah untuk
membangun prinsip ekonomi dalam Islam, yaitu: kepemilikan ganda (kepemilikan
individual dan kepemilikan umum), kebebasan berkonomi, serta mengayomi kepentingan
umum. Tetapi di sini penulis berusaha fokus pada masalah kepemilikan ganda
(kepemilikan individual dan kepemilikan umum) yang bertentangan dengan sosialis
maupun kapitalis.
a.
Kepemilikan Individual
Manusia diciptakan dengan fitrah yang sudah ditetapkan
oleh Allah dan tidak akan keluar dari fitrah tersebut. Hal itu sesuai dengan
dengan firmanNya surat ar Rum ayat 30
“30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Kemudian ada
sebuah hadits yang juga berbicara tentang hal yang sama “Tidaklah seseorang itu
dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang
menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi.”
Ketika fitrah yang dimaksudkan adalah hal yang
mencakup segala aspek kehidupan, maka apa sebenarnya fitrah manusia dalam hal
keuangan dan perkonomian? Allah berfirman dalam surat al ‘Adiyat ayat 8 “Dan
Sesungguhnya dia sangat bakhil Karena cintanya kepada harta.” Meskipun para
ahli tafsir mempunyai perbedaan pendapat tentang hakekat dari ‘berlebihan’
dalam hal kecintaan mereka ini, tapi perbedaan itu tidak begitu jauh, yang
intinya manusia itu menyukai harta. Dalam Shohih Muslim disebutkan “Andai kata
seorang anak Adam mempunyai 2 lembah yang berisi harta, niscaya mereka akan
mencari yang ketiga.”
Berlandaskan dari nash yang disebutkan di atas, maka
syariah memberi jawaban untuk fitrah dari model ekonomi Islam, yaitu
kepemilikan individual. Tetapi kepemilikan individual di sini tidak sama sebagai mana yang ada pada kapitalisme yang
malah menjerumuskan manusia pada kecintaan materi. Maka kepemilikan individual
dalam Islam memiliki batas-batas, ketentuannya, serta kewajibannya sendiri yang
nantinya akan saling melengkapi dengan kepemilikan umum sebagaimana disebutkan
pada pembahasan sebelum ini.
Al Qur’an juga menerangkan dalam beberapa ayat yang
menisbahkan harta kepada individual, diantaranya adalah “Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang bathil.” Atau ayat lain “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
Maka bagimu pokok hartamu.”. Jika dihitung, maka setidaknya kita akan
mendapatkan 54 ayat yang menisbahkan harta kepada individual, dan itu belum
termasuk bentuk kalimat yang tidak langsung.
Kepemilikan individual yang sudah dijelaskan di atas
sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip kepemilikan mutlak yang
dinisbahkan kepada Sang Pencipta Alam. Atau dengan kata lain bahwa pemilik
haqiqi sebenarnya Allah. Disebutkan dalam firmanNya “107. Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan
langit dan bumi adalah kepunyaan Allah?” Maka Dialah Sang Pemilik yang
mempunyai segalanya tanpa batasan dan ketentuan. Adapun posisi dan fungsi
manusia tidak lain hanyalah sebagai khalifah di atas bumi.
Tidak adanya pertentangan antara kepemilikan haqiqiNya
dengan kepemilikan individual manusia sebagai khalifah di atas bumi ini tidak
jauh beda dengan kepemilikan ilmu yang dinisbahkan kepadaNya juga. Allah
mempunyai sifat al milku (kepemilikan) dan juga sifat al ‘ilmu, ar rahmân dan
berbagai macam sifat lainnya. Sebagaimana manusia memiliki al ‘ilmu dan ar
rahmân dengan karakteristiknya sebagai ‘yang diciptakan’ dan bukan Yang
Menciptakan. Maka dari itu tidak mungkin kita sifati manusia dengan al ‘ilmu
yang dimiliki Sang Pencipta. Kita menyandarkan suatu sifat kepada manusia tidak
lain berdasarkan pada sesuatu parsial, dan bukan keuniversalan dari sifat tadi
karena sifat-sifat tersebut tidak lain adalah milikNya semata.
b.
Kepemilikan Umum
Dr. Robi’ Mahmud Ruby menerangkan yang dimaksud dengan
kepemilikan umum dalam Islam yaitu segala sesuatu yang bukan merupakan
kepemilikan individual. Di sini Dr. Robi’ membagi kepemilikan individual
menjadi 2:
1.
Kepemilikan negara
Dr. Robi’ menerangkan bahwa yang dimaksud dengan
kepemilikan negara di sini bisa diartikan layaknya kepemilikan individual milik
negara. Maka yang termasuk dalam golongan ini adalah berbagai firma serta
perusahaan atau lembaga-lembaga lain yang mana seorang pemimpin negara atau
pejabat pemerintahan mempunyai hak dalam mengelolanya. Tentunya hak ini
berasaskan maslahat dari rakyat sang pemimpin tersebut. Sedangkan Dr. Dawabah
menambahkan bahwa yang termasuk dalam golongan ini nantinya bisa menjadi sumber
pemasukan untuk baitul mal yang kemudian pemerintah menggunakannya untuk
hal-hal yang mengandung maslahat umum.
2. Kepemilikan
majemuk dari masyarakat
Sudah maklum bahwa masyarakat merupakan kumpulan dari
beberapa orang atau individu. Maka yang dimaksudkan dengan kepemilikan majemuk
ini adalah segala jenis sumber daya yang bisa dipergunakan oleh majemuk dari
masyarakat dimana tidak ada satu individu yang boleh memilikinya secara
pribadi. Diantaranya adalah jalan, air, api, rumput lapang, jembatan dan sumber
daya lain yang sejenisnya. Maka dalam bahasa lain bisa diartikan bahwa
kepemilikan majemuk di sini adalah sumber daya yang dihasilkan tanpa adanya
ikut campur satu orang pun di dalamnya. Selain itu sumber-sumber tersebut bisa
didapatkan dengan mudah, ditambah lagi bahwa wujudnya adalah sesuatu yang primer
bagi kalangan majemuk.
Ada sebuah atsar yang sangat pas untuk menggambarkan
posisi pemimpin dari pada kepemilikan umum ini. Umar bin Khattab berkata
“barang siapa yang ingin meminta harta (umum) maka hendaklah ia datang padaku.
Karena sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan aku penjaga (khâzin) baginya.”
Dari ungkapan yang singkat ini setidaknya dapat diambil dua hal. Yang pertama
adalah tugas seorang khalifah, yaitu menjaga serta mendistribusikan harta tadi
dengan adil. Yang kedua bahwasanya pemerintahan tidak berkepentingan untuk ikut
andil dalam masalah produksi. Tugas pemerintah tidak lain memberi pengarahan
dan peninjauan.
Inilah sistem Islam yang memadukan antara kepemilikan
individual dan kepemilikan umum serta membuat batasan dan aturan antara
keduanya. Diantara kelebihannya adalah seputar penetapan zakat, kharraj, jizyah,
usyur, dan lain sebagainya. Dan era
kegemilangan Islam pada zaman abbasiyah, khususnya di bawah kepemimpinan Harun
ar Rasyid tidak lepas dari peletakan dasar ekonomi Islam yang matang dan rapi
serta pelaksanaannya yang penuh amanat. Bahkan diantara syarat untuk menjadi
pegawai pajak adalah baik agamanya, amanat, menguasai ilmu fikih dan lain-lain
sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al Kharraj milik Abu Yusuf.
Tidak heran dengan ketetapan-ketetapan finansial yang
berasaskan agama dalam buku al Kharraj menjadikan umat Islam pada masa Abasiyah
merasakan kemakmuran yang dahsyat. Tercatat bahwa dari pajak kharraj saja pada
masa Harun ar Rasyid mencapai 7 juta dirham dan kemudian meningkat pesat pada
masa al Mu’tashim menjadi 30 miliar dirham. Itu baru dihitung dari segi kharraj
tanpa memasukkan sumber pendapatan lain dari berbagai macam jenis keuangan
publik seperti zakat dan lain sebagainya.
C.
Sistem Ekonomi Islam Vs Sistem Ekonomi Konvensional
Beberapa batasan yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah :
Sistem Ekonomi
Islam merupakan Madzhab ekonomi islam, yang terjelma di dalammya bagaimana cara
islam mengatur kehidupan perekonomian, dengan apa yang dimiliki dan ditunjukkan
oleh madzhab ini tentang ketelitian cara berfikir yang terdiri dari nilai-nilai
moral islam dan nilai-nilai ekonomi, atau nilai-nilai sejarah yang ada
hubunganya dengan uraian sejarah masyarakat (M.Baqir As.Shadr, 1968)
Sistem Ekonomi Kapitalis (Liberalis) : Suatu sistem
ekonomi yang didasarkan pada azas
Lisses Faire,
Laisses Aller, kesejahteraan umum akan tercapai dengan sendirinya jika setiap
orang, setiap individu dibiarkan bebas tanpa adanya campur tangan pemerintah;
karena didorong oleh kepentingannya pribadi, maka produksi akan disempurnakan
dan terus meningkat dengan sendirinya (Adam Smith, 1775. terjemahan).
Kemudian dalam
praktik ekonomi Islam, menunjukkan adanya hal baru dibandingkan sistem-sistem
klasik, berupa penekanannya yang tidak melulu pada pendekatan hasil (output),
melainkan juga menekankan bagaimana prosesnya. Pendekatan proses ini menjadi
penting dalam menentukan keberhasilan dalam sistem ekonomi Islam, karena jika
penekanan pada hasil atau output saja, maka di dalamnya akan melahirkan pola
yang cenderung eksploitatif karena tujuan menentukan cara, atau yang lazim
dikenal, tujuan menghalalkan segala cara.
Sistem ekonomi
Islam muncul selari dengan perkembangan umat Islam itu sendiri. Hal ini
ditandai dengan didirikannya institusi-institusi keuangan Islam yang
mengamalkan sistem bebas riba/bunga. Realitinya, kebanyakan masyarakat masih
ada yang belum mengenal sistem tersebut secara benar. Sebagian masyarakat
bahkan ahli profesional dan ekonomi masih menganggap bahwa sistem ekonomi Islam
akan menghadapi kesukaran dalam persaingan dengan sistem keuangan konvensional.
Ia (sistem ekonomi konvensional) cenderung lebih cepat berkembang dan bergerak
lebih depan dalam era globalisasi. Karena kebanyakan sistem keuangan dunia
masih bergantung kepada sistem yang berbasiskan kepada bunga.
Terdapat suatu
anggapan bahwa salah satu masalah yang dihadapi oleh sistem ekonomi Islam ialah
sistem tersebut tidak mampu mengalokasikan sumber secara optimum. Hal ini
disebabkan bahwa bunga adalah harga. Pendapat lain mengatakan jika tidak ada
bunga sebagaimana dalam sistem ekonomi Islam dana pinjaman akan diberikan
kepada peminjam secara sukarela sehingga permintaan terhadap pinjaman mengalami
lonjakan sehingga tidak ada suatu mekanisme yang dapat mengembangkan permintaan
dan penawaran. Artinya, bahwa bunga merupakan satu-satunya kekuatan, jika
tidak, sumber keuangan akan digunakan secara tidak efisien bagi masyarakat.
Berbeda dari
sistem ekonomi konvensional, di dalam sistem ekonomi Islam dana akan tersedia
jika ada biaya dan biaya tersebut terdapat di dalam konsep keuntungan. Tingkat
keuntungan menjadi kriteria untuk mengalihkan sumber sekaligus untuk membuat
keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Semakin besar keuntungan yang
diharapkan dari suatu perniagaan semakin besar pula tawaran dana dalam
perniagaan tersebut. Apabila keuntungan aktual suatu perniagaan senantiasa
lebih rendah dari yang diharapkan maka perniagaan tersebut akan mengalami
kesulitan meningkatkan dana di masa depan.
Strategi
Efektif Pengembangan Sistem Ekonomi Islam Di Indonesia.
Setelah sebelumnya telah dipaparkan kendala dan
tantangan yang dihadapi dalam pengembangan sistem ekonomi Islam di Indonesia,
maka ke depan harus dilakukan langkah-langkah atau strategi pengembangan untuk
pengimplementasian sistem Ekonomi Islam secara lebih optimal, diantaranya
yaitu:
- Harus
ada wakil yang menyuarakan sistem ekonomi Islam, khususnya di bidang politik.
-
Mengadakan seminar, diskusi, sarasehan, dan forum-forum ilmiah baik
secara regional, nasional maupun internasional dengan intensif
-
Penyusunan ketentuan-ketentuan sistem ekonomi Islam
-
Mendorong terbentuknya Forum Komuniasi Syariah
-
Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dengan fokus pada gerakan
edukasi dan sosialisasi yang dilakukan secara optimal dan tepat
-
Penelitian preferensi dan perilaku konsumer terhadap lembaga-lembaga
syariah
-
Mempersiapkan teknologi informasi yang handal
-
Mempersiapkan lembaga penjamin pembiayaan Syariah
-
Mendorong terbentuknya Islamic Trade Center
-
Memberdayakan pengawasan aspek Syariah
- Dll.
Beberapa batasan yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah :
Sistem Ekonomi
Islam merupakan Madzhab ekonomi islam, yang terjelma di dalammya bagaimana cara
islam mengatur kehidupan perekonomian, dengan apa yang dimiliki dan ditunjukkan
oleh madzhab ini tentang ketelitian cara berfikir yang terdiri dari nilai-nilai
moral islam dan nilai-nilai ekonomi, atau nilai-nilai sejarah yang ada
hubunganya dengan uraian sejarah masyarakat (M.Baqir As.Shadr, 1968)
Sistem Ekonomi Kapitalis (Liberalis) : Suatu sistem
ekonomi yang didasarkan pada azas
Lisses Faire,
Laisses Aller, kesejahteraan umum akan tercapai dengan sendirinya jika setiap
orang, setiap individu dibiarkan bebas tanpa adanya campur tangan pemerintah;
karena didorong oleh kepentingannya pribadi, maka produksi akan disempurnakan
dan terus meningkat dengan sendirinya (Adam Smith, 1775. terjemahan).
BAB III
PEMBAHASAN
A. Simpulan
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdullah, M.H. 1990. Dirasat fil Fikril Islami.
Beirut : Darul Bayariq
2. An-Nabhaniy,T. 1990. An-Nizham Al-lqtishadi Fil
Islam. Beirut : Darul Ummah.
3. Az-Zain, S. A. 1981. Syari’at Islam : Dalam
Perbincangan Ekonomi, Politik dan Sosial Sebagai Studi Perbandingan
(Terjemahan). Bandung : Husaini.
4. Zallum, A.Q. 1983. Al-Amwal fi Daulah Al Khilafah.
Beirut : Darul llmu lil Malayiin
5. Wikipedia, ensiklopedia bebas.
Tweet
More Sharing Services4
Post title : Makalah sistem Ekonomi Islam
URL post : https://didiklaw.blogspot.com/2014/03/makalah-sistem-ekonomi-islam_3.html
URL post : https://didiklaw.blogspot.com/2014/03/makalah-sistem-ekonomi-islam_3.html
0 komentar:
Show Emoticons
Posting Komentar